Waduh ! ODGJ Ternyata Boleh Nyoblos Pemilu 2024

Aktifitas pemungutan dan pencoblosan surat suara dalam Pemilu 2019 lalu. F antara - Foto: Antara -

“Bingung juga kita, mengapa orang dengan kelainan jiwa dapat memilih," katanya.

Ketua KPU OKI Divisi Teknis dan Penyelenggaraan Pemilu, Harris Fadillah angkat bicara.

Dia mengatalan, hal konstitusi yang dimiliki oleh warga negara itu selain berbadan sehat, juga mampu membedakan untuk memilih memberikan hak suara," ungkapnya. 

Ia menambahkan, ketika memang berhadapan persoalan pemilih dalam gangguan jiwa, tentu ada standarnya, yang salah satunya dengan melampirkan keterangan sehat dari dokter, bahwa dia bisa memberikan hak suaranya.

"Namun, jika memang dia mengkhawatirkan, misalnya ngamuk-ngamuk dan menimbulkan masalah di Tempag Pemungutan Suara (TPS), maka jangan dipaksakan," ujarnya. Dikatakannya lagi, untuk ODGJ boleh memilih seperti yang dimaksud, mungkin harus dibedakan dengan orang gila.

Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik Sumsel, M Haekal Al-Haffafah S.Sos, M.Sos mengatakan,  memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin Undang-undang demikian diatur dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Dikatakan Haekal, kesempatan memilih itu sudah ada pada pemilu pertama tahun 1955, penjelasan KPU juga cukup hati-hati dengan memberi garis bawah bahwa syarat memilih harus disertai surat keterangan dokter.

Hal positif, ini memberi penegasan bahwa penyelenggara pemilu memiliki komitmen terutama dalam menjaga tingkat partisipasi politik. 

“Tapi bukan berarti publik tak boleh merespon dengan kritik dan dugaan kekhawatiran. Poin pertama, tingkat objektifitas orang dalam gangguan jiwa dalam memilih kualitas pemimpin itu dipertanyakan,” tandasnya.

Prinsip demokrasi yang matang dalam konteks negara maju itu lanjut Haekal  memposisikan warganegara sebagai warga yang memiliki partisipasi aktif, artinya penekanan pada partisipasi negara maju adalah soal kualitas, maka kalau kita lihat di Amerika tingkat partisipasi tidak lebih dari 70% hal ini menjelaskan bahwa sebagian warga percaya dengan sistem politik dan pemilu yang sudah ada.

“Sementara kalau di Indonesia sebagian publik masih menyimpan "catatan curiga" pada proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi dengan report catatan kecurangan pemilu yang cukup banyak, mulai netralitas ASN, TNI-POLRI, kekhawatiran terhadap operasi politik badan intelijen sebagai instrumen kekuatan politik kekuasaan negara. Sampai pada kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sendiri,” ujar dia.

Kekhawatirkan itu lanjut Haekal, berjalan seiring dengan meningkatnya pemahaman warga dalam konteks berdemokrasi.

“Poin kedua, proses politik dalam penyelenggaraan pemilu kita masih didominasi dengan cara-cara politik yang mobilitatif, artinya pemilu kita belum pada level partisipasi baru pada level mobilisasi. Apa buktinya, money politik yang cara kerjanya transaksional dan itu diaminkan oleh seluruh elit sebagai barang yang kadung jadi pengetahuan umum publik,” ucapnya.

Oleh karena itu kata Haekal, bagaimana pengawasan terhadap pemungutan suara ODGJ yang jadi soal. 

“Tentu ini akan dikhawatirkan sebagai basis pemilih yang rawan dimobilisasi,” pungkas alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri) ini. ***

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan