Komisi Informasi Sumsel tanpa Keterwakilan Perempuan ? Kesetaraan Gender Dalam Lembaga Publik Disoal !

--
BACA JUGA:Soal Parkir di BKB : Masyarakat Harapkan Kehadiran Pemerintah !
Di tingkat legislatif, misalnya, keterwakilan perempuan di Indonesia baru mencapai sekitar 21 persen pada tahun 2024, padahal target minimal yang diharapkan adalah 30 persen.
Berbagai elemen masyarakat, terutama pegiat keterbukaan informasi dan aktivis gender, menyayangkan absennya perempuan dalam 5 nama calon anggota KI Sumsel yang disebut akan dilantik.
Mereka menilai bahwa DPRD Sumsel seharusnya memberikan perhatian lebih pada keterwakilan perempuan sebagai upaya menciptakan lembaga yang lebih inklusif.
BACA JUGA:Hari Kartini Momentum Bangkitkan Semangat Kesetaraan dan Keadilan Gender
BACA JUGA:Siswi SMP di Lubuklinggau Dijual Teman Sendiri Seharga Rp 1 Juta : Begini Modus Pelaku !
“Sangat disayangkan jika isu keterwakilan perempuan tidak mendapat perhatian serius. Kami berharap DPRD Sumsel bisa mengkaji kembali dan memastikan bahwa proses seleksi yang ada benar-benar akomodatif dan berkeadilan gender,” ujar seorang pegiat kesetaraan gender di Palembang.
Dalam menyikapi polemik ini, DPRD Sumsel diharapkan segera memberikan klarifikasi terkait nama-nama calon yang beredar serta menyampaikan pengumuman resmi hasil seleksi.
Selain itu, penting bagi DPRD untuk menjelaskan sejauh mana prinsip-prinsip kesetaraan gender diakomodasi dalam proses seleksi, mengingat Komisi Informasi berperan vital dalam menjaga keterbukaan informasi di Sumsel.
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri, menyoroti minimnya keterwakilan perempuan sebagai hal yang perlu dikritisi, terutama di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.
Menurutnya, salah satu penyebab utama kekerasan tersebut adalah kurangnya distribusi informasi terkait hak-hak perempuan dan isu-isu perempuan yang disosialisasikan kepada masyarakat.
“Dalam budaya patriarki, isu-isu perempuan sering kali tidak dianggap penting oleh komisioner laki-laki. Mereka biasanya lebih fokus pada isu-isu besar seperti politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan,” jelas Ade, mengutip sumateraekspres.bacakoran.co.
Ade menambahkan, absennya komisioner perempuan di Komisi Informasi dapat mengakibatkan semakin rendahnya tingkat penyebaran informasi terkait hak-hak dan isu perempuan.
Menurutnya, perempuan harus menjadi bagian dari lembaga-lembaga publik seperti Komisi Informasi, karena mereka membawa perspektif dan kepekaan yang lebih terhadap isu-isu yang menyangkut masyarakat luas, khususnya perempuan.
"Penting bagi panitia seleksi untuk mempertimbangkan keterwakilan perempuan ini. Minimal 30 persen dari posisi di Komisi Informasi harus dipegang oleh perempuan agar lembaga ini mampu mencerminkan keberagaman dan kebutuhan masyarakat," pungkas Ade.