Jejak Keturunan Puyang Serunting : Tradisi dan Ciri Khas yang Terjaga di Kedurang Bengkulu Selatan !
Gapura selamat datang di Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu-Foto : Dokumen Palpos-
Daging kambing tersebut kemudian dimasak oleh para tetua perempuan desa menjadi gulai, dan hanya boleh disantap oleh para tetua adat.
Konon, anggota masyarakat yang belum menjadi tetua tidak diperbolehkan mencicipi masakan tersebut.
Masyarakat percaya bahwa jika anggota muda mengonsumsi daging tersebut, maka mereka atau keturunannya akan terjebak dalam tindakan yang sama.
Selain hukum adat, Kedurang juga memiliki tradisi pencucian benda pusaka yang dilakukan secara turun-temurun.
Benda pusaka berupa keris yang dimiliki oleh keturunan Puyang Serunting ini dianggap keramat dan dicuci setiap bulan Muharam.
Proses pencucian keris ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang.
Hanya keturunan Puyang Serunting yang memiliki jari telunjuk bengkok yang berhak melakukan ritual pencucian ini.
Keris ini dicuci dengan menggunakan air jeruk nipis hingga bersih, kemudian disimpan kembali.
Ritual pencucian ini bukan sekadar membersihkan keris, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur serta menjaga keberkahan dan keselamatan yang diyakini diwariskan melalui benda pusaka tersebut.
Masyarakat Kedurang, seperti banyak komunitas adat lainnya, sangat menghargai sejarah dan asal-usul mereka.
Pengetahuan tentang asal-usul, seperti legenda Puyang Serunting dan tradisi pencucian benda pusaka, bukan hanya untuk memperkaya pengetahuan generasi muda, tetapi juga sebagai upaya menjaga identitas dan kelangsungan budaya.
Banyak generasi muda di Kedurang yang diajarkan tentang kisah Puyang Serunting dan adat istiadat setempat sejak kecil.
Nama Pasemah, yang digunakan untuk menyebut masyarakat di wilayah Kedurang, memiliki cerita tersendiri.
Kata Pasemah berasal dari kata Basemah yang konon muncul ketika leluhur masyarakat, Atong Bungsu, melihat banyak ikan semah di sungai di sekitar Dempo.
Namun, ketika Belanda tiba di wilayah tersebut, mereka kesulitan mengucapkan kata “Be” sehingga masyarakat setempat akhirnya lebih dikenal dengan nama Pasemah.