DPR Diminta Revisi Aturan Calon Tunggal yang Kalah dalam Pilkada Ulang
Ilustrasi pilkada serentak 2024-Foto : Istimewa-
JAKARTA, KORANPALPOS.COM - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, meminta DPR RI untuk memperbaiki Undang-Undang Pilkada dengan menambahkan aturan terkait calon tunggal yang kalah dalam Pilkada.
Ia menyarankan agar calon tunggal yang kalah tidak diperbolehkan mengikuti Pilkada ulang di tahun berikutnya, seperti yang dijadwalkan pada 2025.
"Ini hanya perlu menambahkan satu ketentuan untuk menjawab masalah calon tunggal yang kalah. Kalau kotak kosong menang, calon tunggal yang kalah tidak boleh ikut lagi Pilkada 2025," ujar Usep dalam sebuah diskusi bertajuk "Fenomena Pilkada 2024 Bersama atau Melawan Kotak Kosong" yang diadakan secara daring, Rabu (11/9).
Usep juga mencatat bahwa pada pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa daerah, ada aturan yang melarang calon tunggal yang kalah untuk mencalonkan diri lagi pada pilkades berikutnya.
BACA JUGA:Daftar 45 Anggota DPRD Banyuasin Periode 2024-2029 : Hampir Separoh Diisi Wajah Baru !
BACA JUGA:DPR-KPU Antisipasi Kotak Kosong Menang di Pilkada 2024
Dalam konteks pilkades, jika hanya ada satu calon, maka pemilih bisa memberikan suara kosong atau simbol lain, seperti lidi, sebagai tanda tidak memilih calon tunggal.
Jika suara kosong atau simbol tersebut menang, calon kepala desa tersebut dilarang mencalonkan diri lagi pada pemilihan berikutnya.
"Ini mirip dengan pilkades, kalau calon tunggal kalah karena suara kosong menang, calon tersebut tidak bisa maju lagi di pilkades berikutnya," jelas Usep.
Fenomena serupa juga terjadi dalam Pilkada Makassar, di mana calon tunggal yang kalah tetap ikut dalam Pilkada ulang, namun akhirnya kalah lagi.
BACA JUGA:Ganjar Sebut Masyarakat Sipil Butuh Skenario Perbaikan Demokrasi
BACA JUGA:Pilkada Ulang Dilakukan Maksimal 2 Tahun Bila Kotak Kosong Menang !
Menurut Usep, ini adalah bukti bahwa calon tunggal yang telah kalah seharusnya tidak diberi kesempatan untuk mengikuti Pilkada ulang, karena terbukti tidak mendapat dukungan yang cukup dari masyarakat.
"Kalau sudah kalah, kenapa harus ikut lagi? Ini kan mengulang kekalahan yang sama," tambahnya.