Proses investigasi telah dilakukan oleh pihak kepolisian, yang telah berhasil mengamankan DPN, pacar dari almarhum RN, bersama dengan sejumlah barang bukti.
Barang bukti tersebut termasuk satu botol minuman, satu plastik bekas bungkus paket JNE, satu sarung bantal berwarna hitam-putih dengan bercak darah dugaan, satu BH berwarna pink, satu kemasan obat Cytotec Tablet, dan 2 unit handphone.
Namun, keluarga almarhum menolak untuk melakukan otopsi terhadap jenazah.
Meskipun demikian, pihak kepolisian terus berupaya mencari bukti baru dan mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi yang terlibat dalam peristiwa ini.
Kasus ini mencuat ke permukaan ketika almarhum RN, seorang mahasiswi yang berasal dari Sumatra Barat, melakukan aborsi dengan bantuan pacarnya, DPN.
Pasangan mahasiswa ini memutuskan untuk menggugurkan janin yang dikandung RN setelah mendapati hasil tes kehamilan positif pada awal November.
Penting untuk mencatat bahwa kejadian ini melibatkan penggunaan aplikasi jual-beli online untuk memesan obat penggugur.
Hal ini mencerminkan tren yang perlu menjadi perhatian, di mana akses mudah terhadap obat-obatan tertentu dapat memberikan risiko serius jika tidak digunakan dengan pengawasan medis yang benar.
Penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan oleh pihak berwenang untuk menentukan apakah tindakan aborsi ilegal ini melibatkan pihak lain selain pasangan tersebut.
Keberlanjutan penyidikan ini akan memberikan gambaran lebih jelas tentang bagaimana dan mengapa kejadian ini terjadi, serta apakah ada pihak ketiga yang terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan aborsi.
Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan pertanyaan tentang aspek hukumnya, tetapi juga menyoroti dampak psikologis dan sosial dari tindakan aborsi ilegal.
Kesehatan mental dan dukungan sosial bagi individu yang terlibat dalam situasi seperti ini juga perlu mendapat perhatian serius.
Kasus kematian RN akibat dugaan aborsi ilegal menjadi pengingat bahwa isu kesehatan reproduksi dan tindakan medis yang terkait dengannya memerlukan pendekatan yang hati-hati dan terinformasi.
Pihak berwenang, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan di mana individu merasa dapat mengakses informasi dan layanan kesehatan reproduksi dengan aman, tanpa harus resort kepada tindakan ilegal yang berbahaya.***