Sebagaimana diketahui otonomi daerah, menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, orientasi pembangunan di Indonesia telah berubah dari prinsip efisiensi dan pertumbuhan menjadi prinsip kemandirian dan keadilan.
Perubahan orientasi pembangunan ini mengarah pada desentralisasi dan menimbulkan fenomena pemekaran wilayah.
Pemekaran wilayah menjadi daya tarik tersendiri dalam otonomi daerah, sehingga terus menjadi perbincangan di berbagai kalangan.
Pemekaran wilayah sering kali memicu kontroversi dan perdebatan di antara elit, kelompok masyarakat, bahkan pembuat kebijakan.
Banyak yang mempertanyakan urgensi pemekaran wilayah dengan berbagai alasan, seperti politis, sosiologis, religius, bahkan historis.
Isu pemekaran wilayah tidak hanya muncul karena keinginan untuk mandiri, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Daerah yang ingin dimekarkan sering kali tertinggal jauh dari daerah lainnya, sehingga pemekaran dianggap sebagai solusi untuk mengatasi ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan.
Oleh karena itu, isu pemekaran wilayah sering kali menjadi jawaban atas perasaan ketidakadilan, perasaan tidak diperhatikan, atau keinginan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan ini.***