Pertempuran yang berkecamuk mengakibatkan ribuan Muslim tewas dalam waktu singkat.
Melihat kehancuran yang terjadi, Komandan Muawiyah, Amru bin Ash, menyadari bahwa perang hanya akan membawa kerugian bagi kedua belah pihak.
BACA JUGA:Kasus Kekerasan kepada Perempuan di Sumsel Tinggi
BACA JUGA:Kisah Muawiyah bin Abu Sufyan (8)
Maka, ia mengambil inisiatif untuk menghentikan pertempuran dengan mengangkat mushaf sebagai tanda perdamaian, mengacu pada Kitabullah.
Kebanyakan prajurit di kedua belah pihak juga menginginkan perdamaian, karena mereka telah lelah dan jenuh berperang.
Mereka khawatir akan kehilangan segalanya jika pertempuran terus berlanjut.
Akhirnya, Ali dan Muawiyah sepakat untuk menjalani tahkim (arbitrase).
Abu Musa al-Asy’ari diwakilkan oleh Ali, sedangkan Amru bin Ash diwakili Muawiyah. Pertemuan mereka terjadi di Dumat al-Jandal pada bulan Ramadhan.
Perang Shiffin, meskipun berdampak besar bagi kedua belah pihak, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya perdamaian.
Ribuan jiwa tewas, termasuk 25 sahabat yang ikut berperang dalam Perang Badar.
Namun, tindakan Muawiyah yang tidak bersedia membaiat Ali sebagai Amirul Mukminin dianggap sebagai kesalahan nyata.
Peristiwa penting dalam perang tersebut adalah syahidnya sahabat senior Ammar bin Yasir.
Ammar telah diperingatkan oleh Nabi bahwa ia akan dibunuh oleh kelompok zalim, dan saat itu Ammar membela Ali bin Abi Thalib.
Kisah epik perdamaian di tengah medan perang antara Ali dan Muawiyah menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam.
Peristiwa ini menunjukkan pentingnya penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan, bukan melalui pertumpahan darah yang tidak perlu.