Korupsi, Keserakahan, dan Pentingnya Menghulukan Penanganan

Sabtu 25 Oct 2025 - 20:05 WIB
Reporter : Bambang Samudera
Editor : Dahlia

Ambil contoh, mereka yang hidupnya bahagia, dengan harta yang cukup, meskipun tidak tergolong berlimpah bagi penganut paham serakah, seringkali dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan yang ditanam oleh bapak-ibunya, kemudian naik ke kakek-neneknya.

Mereka menikmati keberkahan hidup, salah satunya bersumber dari perbuatan baik yang diwariskan oleh leluhurnya.

Demikian juga sebaliknya, mereka yang hidupnya penuh dengan penderitaan, masyarakat kita juga akan mengaitkan dengan perilaku leluhur yang anak cucunya terpaksa harus menjalani konsekuensi hidup tidak nyaman itu.

Lepas dari kepercayaan waris mewariskan kebahagiaan dan penderitaan, pemaknaan sesungguhnya dari semua ini adalah "hidup hanyalah sementara".

Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, yang dalam khazanah leluhur Jawa dikenal dengan istilah "Urip mung mampir ngombe" atau hidup hanya untuk mampir minum.

Sebagai tempat sementara untuk menuju perjalanan selanjutnya ke kampung akhirat, kita "terlalu serius" mengejar tujuan hidup yang umumnya bersumber dari ego.

Akibatnya kita terlalu serius menumpuk harta yang kita sangka akan membawa kebahagiaan.

Pada saat kontrak hidup dengan Sang Pemilik Hidup berakhir, harta sudah tidak bermakna apa-apa.

Bahkan juga anak, istri atau suami juga tidak bisa bersama kembali untuk menempuh perjalanan selanjutnya dalam episode kehidupan ini.

Di tengah upaya pemerintah melakukan penegakan hukum, segala bentuk tindakan korupsi tidak akan pernah selamat.

Tubuh yang kita fasilitasi dengan berbagai kemewahan selama hidup juga akan ditinggikan dan kembali ke asalnya, yakni bumi alias tanah.

Pembiasaan perenungan mengenai hakikat hidup dapat terus ditumbuhkan di keluarga, sehingga antaranggota keluarga dapat saling mengingatkan, juga di komunitas atau lingkungan terdekat.

Selain itu, lembaga keagamaan hendaknya tidak terjebak pada pemahaman bahwa kepatuhan kepada Tuhan itu hanyalah di aspek ritual, sedangkan di ranah sosial cenderung kurang mendapat perhatian dan pendalaman untuk dijalani.

Ketika terjebak di pemahaman keagamaan yang ritual, perbuatan dosa dari korupsi akan dianggap tidak masuk dalam kategori dosa yang berat.

Padahal dosa korupsi tidak cukup hanya dihadapi dengan permintaan ampun kepada Tuhan, sedangkan uang hasil korupsinya masih dinikmati.

Dosa korupsi bisa diampuni oleh Tuhan, jika pelakunya meminta maaf kepada rakyat yang dirugikan, kemudian harta yang diperoleh dari korupsi itu dikembalikan semuanya kepada rakyat yang berhak.

Kategori :