BACA JUGA: BPHTB dan PBG Resmi Gratis, Kemendagri Dorong Daerah Dukung Rumah Layak untuk Rakyat Kecil
Bahkan bisa menjatuhkan negara. Di sinilah relevansi analisa presiden Prabowo Subianto mengenai keserakahan dan subversi dalam korupsi.
Kalau dalam konteks ekonomi, khususnya pengelolaan hasil tambang, pemerintah Indonesia tengah gencar dengan program hilirisasi, maka untuk penanganan korupsi, yang diperlukan sebaliknya, penghuluan penanganan.
Untuk memberantas korupsi, tidak cukup hanya keras di aspek hilir alias penegakan hukum.
Di aspek hulu atau pencegahan juga sangat penting, khususnya terkait upaya menanamkan kesadaran bahwa segala perbuatan yang meniti di atas landasan keserakahan dan menghalalkan segala cara tidak akan mendatangkan kebaikan.
Sebaliknya, perilaku jahat itu justru menimbulkan keburukan, bukan hanya untuk diri, melainkan bagi seluruh keluarga, bahkan terhadap anak cucu.
Penyadaran bahwa berbuat baik dan buruk, salah satunya korupsi, hakikatnya sama dengan berbuat pada diri sendiri dan keluarga, perlu terus digalakkan.
Kebaikan dan keburukan itu seperti burung merpati lepas yang tidak pernah lupa ke kandang mana harus pulang kembali.
Jika motif mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya lewat korupsi itu untuk meraih kebahagiaan, sudah banyak contoh dari para pesohor, khususnya pejabat, yang justru menikmati penderitaan, setelah kasusnya diungkap dan pelakunya mendapat vonis sekian tahun penjara.
Kebahagiaan yang mereka kejar dengan menumpuk kekayaan dan caranya melanggar hukum, justru membawa pelakunya ke jurang penderitaan, bahkan kehancuran.
Bagaimana dengan mereka yang korupsi, namun masih aman dan kehidupan keluarganya terlihat baik-baik saja?
Bangsa ini dikenal sebagai masyarakat religius, apapun agamanya.
Semua agama mengajarkan bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya. Berbuat baik membawa konsekuensi pada surga dan berbuat buruk konsekuensinya mendapat neraka.
Dalam konteks keduniaan, surga itu identik dengan kebahagiaan, sedangkan neraka sama dengan penderitaan.
Kalau konsekuensi itu tidak sampai menimpa langsung seseorang yang melakukan perbuatan baik atau buruk, bisa dipastikan anak cucunya yang akan menikmati konsekuensi tersebut.
Nilai-nilai tradisional masyarakat mengajarkan pada kita bahwa kenyataan hidup kita, saat ini sering kali dikaitkan dengan tanaman (kebaikan dan keburukan) masa lalu leluhur, setidaknya bapak-ibu atau kakek-nenek kita.