“Biasanya, pada tahun pertama produksi bisa di kisaran 3 hingga 4 ton per hektare, kemudian di tahun kedua meningkat menjadi sekitar 5 ton per hektare, mendekati hasil maksimal seperti lahan eksisting,” paparnya.
Upaya ini juga akan dibarengi dengan penyuluhan intensif dan pendampingan petani oleh petugas PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), baik dari dinas kabupaten maupun pusat.
Program pencetakan sawah ini sejalan dengan visi pemerintah pusat dalam mendorong kemandirian pangan dan menekan ketergantungan impor beras. Dengan lahan tanam yang bertambah, distribusi beras lokal juga akan semakin merata dan mampu menjaga stabilitas harga beras di pasar domestik.
Di sisi lain, pencetakan sawah juga membuka peluang ekonomi baru bagi petani dan buruh tani lokal, karena akan terjadi penyerapan tenaga kerja dalam proses konstruksi, olah tanah, penanaman hingga panen.
Meski demikian, Bambang tak menampik ada sejumlah tantangan yang dihadapi, khususnya terkait iklim dan infrastruktur pendukung.
“Pengendalian air sangat krusial, karena sebagian lahan berada di kawasan lebak dan rawa. Oleh karena itu, kita libatkan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) untuk integrasi sistem drainase dan irigasi,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah daerah juga menggandeng TNI melalui program cetak sawah terpadu sebagaimana dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Melalui program pencetakan sawah baru seluas 48 ribu hektare ini, Pemprov Sumsel menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Jika berjalan sesuai rencana, Sumsel bukan hanya mempertahankan predikat sebagai lumbung pangan Sumatera, tetapi juga mampu berkontribusi signifikan terhadap cadangan beras nasional dan kestabilan harga.
Bambang optimistis dengan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, TNI, serta partisipasi petani lokal, Sumsel akan mampu mencapai target peningkatan produksi 1 juta ton GKG tambahan pada tahun ini.