Beberapa provinsi seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Utara mengalokasikan porsi besar dari belanja mereka untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan jaringan air bersih guna mempercepat konektivitas dan akses layanan dasar.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, mengatakan bahwa defisit anggaran yang terjadi di banyak provinsi merupakan hal yang wajar dalam konteks pembangunan dan pelayanan publik.
"Yang terpenting bukan hanya soal jumlah belanja, tapi bagaimana efektivitas dan efisiensi pemanfaatan anggaran tersebut dapat memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat," ujar Astera.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan kapasitas fiskal daerah melalui peningkatan PAD dan efisiensi belanja.
Pemerintah pusat juga terus mendorong penerapan sistem pengelolaan keuangan berbasis digital untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Kemenkeu menyatakan bahwa pelaksanaan APBD tahun 2025 akan terus dipantau secara ketat, terutama untuk memastikan kesesuaian antara rencana anggaran dan realisasi belanja.
Selain itu, pemerintah pusat juga berkomitmen untuk memberikan insentif fiskal kepada daerah yang mampu mengelola APBD secara sehat dan produktif.
Dengan jumlah belanja daerah yang terus meningkat, diharapkan seluruh pemerintah daerah dapat memperkuat sinergi dengan pemerintah pusat dan sektor swasta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pembangunan nasional.
APBD 2025 menjadi tolok ukur penting bagi capaian pembangunan dan layanan publik di seluruh Indonesia.
Dalam kondisi fiskal global dan domestik yang dinamis, kebijakan anggaran yang terarah dan berbasis kebutuhan riil masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.