“Awalnya iseng, tapi ternyata banyak orang rantau yang kangen makan burgo. Jadi saya kemas dalam bentuk frozen food, tinggal dipanaskan saja,” ujarnya.
Langkah seperti ini membuktikan bahwa makanan tradisional bisa tetap relevan dan bersaing di era digital, tanpa harus kehilangan keaslian rasanya.
Pentingnya regenerasi dalam pelestarian burgo juga menjadi perhatian berbagai pihak.
Sekolah dan komunitas budaya kerap mengadakan lomba masak burgo untuk anak-anak dan remaja. Tujuannya, agar mereka tidak melupakan makanan asli daerahnya sendiri.
“Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Burgo bukan hanya makanan, tapi warisan budaya,” kata Nurdin, seorang guru SMK Pariwisata di Palembang.
Burgo bukan sekadar makanan tradisional, tetapi simbol kearifan lokal dan identitas masyarakat Palembang.
Di tengah gempuran makanan asing dan gaya hidup modern, burgo tetap eksis dan bahkan berkembang berkat cinta masyarakat terhadap warisan kuliner leluhur.
Dengan pelestarian yang tepat, burgo diyakini akan terus dinikmati lintas generasi.*