“Langkah ini dapat merusak kredibilitas pemerintah dalam mendorong gaya hidup sehat. Masyarakat bisa saja menilai bahwa pemerintah secara tidak langsung mendukung konsumsi rokok demi keberlangsungan program ini,” tegasnya.
Achmad menambahkan bahwa keberhasilan kebijakan pengendalian tembakau akan menyebabkan pendapatan cukai rokok menurun seiring waktu.
Jika pemerintah terlalu bergantung pada dana ini, keberlangsungan program MBG dalam jangka panjang akan terancam.
BACA JUGA:Pemprov Sumsel Gelar Simulasi Makan Bergizi Gratis di SMKN 2 Palembang
BACA JUGA:Pemkot Palembang Siapkan Rp 42 Miliar untuk Program Makan Bergizi Gratis
Selain paradoks moral, Achmad juga menyoroti risiko finansial dari ketergantungan pada cukai rokok.
Pendapatan cukai rokok tidak stabil dan cenderung menurun, terutama jika kampanye pengendalian tembakau berhasil menurunkan jumlah perokok.
“Program seperti MBG membutuhkan sumber pendanaan yang stabil dan dapat diandalkan. Jika pendanaan berasal dari cukai rokok yang sifatnya fluktuatif, keberlanjutan program akan menghadapi tantangan besar di masa depan,” jelasnya.
Achmad menyarankan agar pemerintah mencari solusi lain yang lebih berkelanjutan, seperti optimalisasi belanja negara dan reformasi perpajakan.
Menurut Achmad, pemerintah memiliki beberapa opsi untuk membiayai program MBG tanpa bergantung pada cukai rokok.
1. Optimalisasi Dana APBN
Pemerintah dapat mengalokasikan ulang dana dari pos-pos anggaran yang kurang mendesak untuk mendukung program MBG.
Dengan meningkatkan efisiensi belanja negara dan mencegah kebocoran anggaran, ruang fiskal yang lebih besar dapat diciptakan untuk program ini.
2. Peningkatan Penerimaan Pajak
Reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memperluas basis pajak dapat memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan.
Dengan pendekatan ini, pemerintah tidak perlu mengandalkan sektor kontroversial seperti cukai rokok untuk mendanai program kesehatan.