Usulan ini tergolong berani karena anggaran yang tersedia sangat terbatas, hanya Rp 30.000.
Namun, semangat tinggi warga Palembang untuk menyatukan kedua wilayah besar mereka, Seberang Ulu dan Seberang Ilir, tidak pernah padam.
Pada tahun 1957, sebuah panitia pembangunan dibentuk, yang melibatkan Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya Harun Sohar, Gubernur Sumatera Selatan H.A. Bastari, Wali Kota Palembang M. Ali Amin, dan Indra Caya.
BACA JUGA:Menaklukkan Atap Sumatera Selatan : Surga Pendakian dengan Keindahan Kawah Berwarna !
Panitia ini melakukan pendekatan intensif kepada Presiden Soekarno untuk mendapatkan dukungan.
Berkat usaha tersebut, Presiden Soekarno menyetujui proyek pembangunan jembatan dengan beberapa syarat, salah satunya adalah keberadaan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan.
Pembangunan dimulai pada April 1962, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 yang berasal dari dana pampasan perang Jepang.
Jembatan ini awalnya diberi nama Jembatan Bung Karno sebagai penghormatan kepada Presiden Soekarno yang berperan besar dalam mewujudkan proyek ini.
Setelah selesai dibangun pada Mei 1965, jembatan ini diresmikan pada 10 November 1965 oleh Gubernur Sumatera Selatan Brigjen Abujazid Bustomi.
Namun, di tengah pergolakan politik Indonesia pada tahun 1966, terjadi gelombang penolakan dari kelompok anti-Soekarno.
Akhirnya, nama jembatan ini diubah menjadi Jembatan Ampera, singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat, nama yang digunakan hingga saat ini.
Jembatan Ampera memiliki sejumlah keunikan yang membedakannya dari jembatan lain.
Salah satu fitur paling menarik adalah bagian tengah jembatan yang dapat diangkat.
Mekanisme ini dirancang agar kapal-kapal besar dapat melintas di bawah jembatan tanpa halangan.
Bagian tengah jembatan ini, yang memiliki berat 944 ton, dapat diangkat dengan menggunakan bandul seberat 450 ton yang berada di kedua menara jembatan.