Banyak orang keliru ketika menulis kata-kata yang seharusnya disambung atau digabung, misalnya kata yang diawali dengan bentuk terikat seperti serba.
Kata-kata seperti serbadigital, yang seharusnya ditulis tanpa spasi, sering kali ditemukan ditulis terpisah menjadi serba digital.
Aturan ini mengacu pada kaidah dalam EYD dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), di mana bentuk terikat seperti serba- disatukan dengan kata dasar yang diikutinya.
BACA JUGA:Sosok Jaksa Agung ST Burhanuddin : Jaksa Karier di Balik Pengungkapan Kasus Korupsi Besar !
BACA JUGA:Daftar Lengkap 48 Menteri Kabinet Merah Putih Pemerintahan Prabowo - Gibran !
Misalnya, bentuk serba- pada kata-kata serbaada, serbaguna, dan serbasusah menunjukkan bahwa penggabungan adalah bentuk yang benar.
Sama halnya dengan bentuk terikat pasca- yang sering kali masih dipisah dari kata dasar, misalnya pasca operasi.
Padahal menurut kaidah yang benar, kata tersebut harus ditulis menyatu sebagai pascabedah.
Bentuk terikat seperti ini penting untuk diperhatikan karena selain menyederhanakan, penulisan yang tepat juga menciptakan konsistensi di kalangan pengguna bahasa Indonesia.
Kesalahpahaman lain dalam penggunaan bentuk terikat terlihat pada penulisan kata asta- yang bermakna delapan.
Misalnya, pada penulisan di beberapa media ditemukan judul seperti "Asta Bisa" yang seharusnya ditulis menjadi "Astabisa" jika merujuk pada kaidah EYD dan KBBI.
Perbedaan antara asta- sebagai bentuk terikat dengan asta yang bermakna lain (makam keramat) harus diperhatikan agar tidak salah pemahaman.
Penerapan yang tepat dari aturan bentuk terikat juga membantu menjaga makna kata yang sebenarnya dan sesuai kaidah.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober menjadi momen yang penting bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Wartawan, sebagai penjaga bahasa di media, perlu menjaga ketaatan terhadap aturan bahasa agar tidak terjadi perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat.
Dalam bukunya Cakrawala Bahasa Indonesia II (1992), Dr. Jusuf Sjarif Badudu menyatakan bahwa bahasa jurnalistik harus tunduk pada aturan bahasa resmi, termasuk kaidah tata bahasa, ejaan, dan tanda baca.