Setelah wafatnya Puyang Beremban Besi, Bujang Merawan dan Cahaya Bintang pun mulai mengundurkan diri karena usia yang semakin tua dan kesehatan yang menurun.
Kepemimpinan desa kemudian beralih ke tangan Thalib Wali.
Dalam masa kepemimpinannya, Thalib Wali menunjuk dua orang penting untuk membantunya, yakni Puyang Rantau Pendodo sebagai kepala pemerintahan dan Muning Cana sebagai pelindung desa.
Selain mengurus pemerintahan, Thalib Wali juga mengemban tugas sebagai pemimpin agama.
Ia ditunjuk sebagai khotib, yang bertanggung jawab dalam mencatat peristiwa pernikahan, kelahiran, kematian, serta mengurus sedekah rakyat.
Tuan Bangsali kemudian mengajak Thalib Wali dan seorang ulama lain bernama Dul untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
Setelah satu tahun di Mekkah, mereka kembali dengan membawa berbagai pengetahuan agama yang lebih mendalam.
Mereka juga membawa tumbuhan suci dari tanah Arab, seperti Pohon Paojenggih dan Pohon Beringin Nyusang, yang ditanam di desa sebagai simbol keberkahan.
Selama puluhan tahun, desa Talang Gelumbang terus berkembang.
Setelah Kerio Ngunang, pemimpin desa yang dipilih setelah Thalib Wali, wafat, desa ini memasuki era baru di bawah kepemimpinan Depati Limau yang diangkat oleh raja-raja Palembang.
Dalam masa ini, berbagai peristiwa penting terjadi, termasuk jatuhnya Palembang ke tangan pemerintah Hindia Belanda.
Belanda mengubah banyak nama tempat di wilayah Palembang, termasuk Talang Gelumbang.
Desa ini akhirnya dikenal dengan nama Pangkalan Balai, yang berasal dari Pangkalan Bangsali dan Balai Desa yang menjadi pusat administrasi dan perdagangan.
Di sekitar Talang Gelumbang, ada kisah tentang seorang tokoh legendaris bernama Si Pahit Lidah yang konon memiliki kekuatan magis.
Ia dikenal mampu mengubah objek yang disebutnya menjadi batu. Salah satu kisah terkenal adalah ketika seekor gajah berubah menjadi batu karena ucapannya.
Desa Galang Tinggi, yang diyakini dibangun oleh Si Pahit Lidah, menjadi bagian dari sejarah panjang perkembangan wilayah ini.