Salah satu semboyan yang erat kaitannya dengan Kabupaten Empat Lawang adalah Nedo Muno Mati Jadilah, yang secara harfiah berarti tidak membunuh, mati jadilah.
Semboyan ini menggambarkan semangat juang empat pendekar dalam mempertahankan kebenaran dan melindungi wilayah mereka.
Dalam kisah yang diceritakan turun-temurun, keempat pendekar tersebut memainkan peran penting dalam melindungi Sunan Palembang dari serangan musuh.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Kabupaten Lahat : Tanah Subur di Jantung Sumatera Selatan !
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Sumatera Selatan : Menguak Jejak Migrasi dan Peradaban Awal !
Sebagai bentuk penghargaan, Sunan Palembang memberikan gelar pahlawan kepada mereka.
Oleh karena itu, semangat keberanian dan pengorbanan ini masih menjadi nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Kabupaten Empat Lawang hingga saat ini.
Kabupaten Empat Lawang, khususnya ibu kotanya, Tebing Tinggi, memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Pada masa Hindia Belanda (1870-1900), Tebing Tinggi menjadi salah satu wilayah administratif yang dikenal dengan sebutan onderafdeeling.
Wilayah ini dianggap penting karena letaknya yang strategis, baik sebagai pusat lalu lintas ekonomi maupun sebagai pusat pemerintahan lokal.
Letak geografis Tebing Tinggi yang berada di jalur lintas perdagangan membuatnya berperan penting dalam distribusi barang dan bahan pokok.
Pada tahun 1870-an, Tebing Tinggi sempat diusulkan menjadi ibu kota keresidenan saat Belanda merencanakan pembentukan Keresidenan Sumatera Selatan (Zuid Sumatra), yang akan mencakup wilayah Lampung, Jambi, dan Palembang.
Usulan tersebut muncul karena Tebing Tinggi dinilai strategis, tidak hanya untuk mengendalikan lalu lintas ekonomi.
Tetapi juga untuk mengatasi ancaman pemberontakan dari daerah sekitar seperti Pagar Alam, Pasemah, dan perbatasan Bengkulu.
Meskipun rencana ini akhirnya tidak terealisasi karena Belanda hanya membentuk satu keresidenan untuk Sumatra, yaitu Keresidenan Sumatra, hal ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Tebing Tinggi pada masa itu.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), onderafdeeling Tebing Tinggi berubah status menjadi kewedanaan.