Rumah-rumah di desa ini memiliki dua tipologi arsitektur yang mencerminkan adaptasi masyarakat lokal terhadap kondisi alam di Sungai Keruh, yaitu rumah basepat dan rumah malamban.
Keduanya merupakan bentuk dari kearifan lokal dalam menghadapi iklim tropis dan kondisi geografis yang rawan banjir.
Rumah Basepat adalah rumah panggung yang dibangun dengan menggunakan tiang-tiang kayu tinggi.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Kota Lubuklinggau Sumatera Selatan : Legenda Linggau dan Dayang Torek !
Desain ini tidak hanya melindungi rumah dari banjir, tetapi juga memberikan sirkulasi udara yang lebih baik di dalam rumah.
Lantai yang terbuat dari kayu membuat rumah ini tetap sejuk di siang hari meskipun cuaca panas.
Selain itu, rumah panggung basepat juga dikenal kuat menghadapi terpaan angin dan cuaca ekstrem.
Sementara itu, Rumah Malamban memiliki karakteristik yang berbeda. Rumah ini dibangun lebih rendah dibandingkan rumah basepat, dan memiliki ruang yang lebih terbuka.
Biasanya, rumah malamban digunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari bagi masyarakat Desa Gajah Mati.
Struktur rumah yang lebih sederhana ini menunjukkan adanya harmoni antara kehidupan sehari-hari masyarakat dan alam di sekitarnya.
Kedua jenis rumah ini tidak hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga menyimpan nilai sejarah yang terkait dengan sistem pemerintahan marga di masa lampau, ketika wilayah ini masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam.
Rumah-rumah tradisional di Desa Gajah Mati menjadi saksi bisu dari perkembangan desa ini yang dulu merupakan pusat permukiman dan pemerintahan marga di Sungai Keruh.
Makam Keramat Puyang Gadis: Jejak Legenda yang Hidup
Salah satu situs budaya yang paling dihormati di Desa Gajah Mati adalah Makam Puyang Gadis.
Makam ini terletak di kawasan yang disebut Kampung Laut, sebuah daerah yang sering tergenang air ketika Sungai Keruh dan Sungai Gelumbang meluap saat musim hujan.