Namun, karena keterbatasan ruang di Pulau Poncan Ketek, pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 memutuskan untuk memindahkan pusat bandar tersebut ke daratan Sumatera, di lokasi yang sekarang menjadi Kota Sibolga.
Perpindahan ini tidak hanya memungkinkan perkembangan kota secara fisik tetapi juga memperkuat posisi Sibolga sebagai pelabuhan utama di pantai barat Sumatera.
Pelabuhan ini kemudian berkembang menjadi jalur perdagangan yang penting, menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Nias serta daerah-daerah lain di Sumatera Utara.
Hingga kini, Sibolga tetap menjadi salah satu pintu gerbang utama bagi orang dan barang yang bergerak antara Sumatera dan Nias.
Lokasinya yang strategis di pesisir barat Sumatera membuat Sibolga menjadi pusat aktivitas ekonomi, terutama di sektor perikanan.
Banyak masyarakat yang bergantung pada hasil laut sebagai mata pencaharian utama.
Selain itu, Sibolga juga menjadi penghubung antara Pulau Sumatera dan Pulau Nias, menjadikannya kota transit yang sibuk.
Julukan Kota Ikan yang melekat pada Sibolga bukanlah tanpa alasan.
Kota ini memang dikenal sebagai salah satu pusat perikanan terbesar di Sumatera Utara.
Banyak nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan dari perairan Teluk Tapian Nauli.
Selain hasil tangkapan ikan segar, Sibolga juga terkenal dengan olahan ikan asinnya. Ikan asin menjadi salah satu oleh-oleh khas yang banyak dicari oleh wisatawan.
Salah satu tempat terkenal untuk mendapatkan ikan asin adalah Desa Pasar Belakang, yang merupakan pusat produksi ikan asin di Sibolga.
Selain ikan asin, Sibolga juga memiliki berbagai kuliner khas yang menggugah selera.
Salah satu yang paling terkenal adalah nasi tua, yang berbahan dasar ketan dan disajikan dengan kuah manis.
Nasi tua biasanya dihidangkan saat acara pernikahan dan menjadi simbol kebersamaan dalam tradisi masyarakat Sibolga.
Pada acara pernikahan, nasi tua ini biasanya disajikan oleh pihak mempelai perempuan kepada tamu yang datang sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih.