Momentum Kembalikan Marwah Mahkamah Konstitusi !
--
MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (7/11) petang, kemarin.
Praktisi Hukum, Sulyaden SH mengatakan, proses hingga keputusan MKMK tersebut sedikit mengalihkan perhatian jelang pemilu yang tidak lama lagi dilaksanakan baik itu, pemilihan Capres dan Cawapres, pemilihan Caleg ditingkat pusat maupun di tingkat provinsi dan kabupaten plus Pilkada .
“Kisruh tersebut terjadi akibat buntut dari putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 MK, mengenai batas usia bagi calon wakil presiden, adanya kekisruhan tersebut bukan tidak beralasan hal tersebut muncul karena adanya konflik of interest dalam putusan tersebu,” ujar Sulyaden, Rabu (8/11).
Konflik of interest tersebut terjadi karena ketua MK yang memimpin persidangan perkara tersebut ternyata ada hubungan keluarga dengan salah satu kandidat calon wakil presiden yang notabene masih anak dari presiden RI Jokowi. Hal inilah yang memicu terjadinya laporan terhadap seluruh Hakim MK RI ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) RI yang dipimpin Prof Jimly Asshiddiqie.
Atas laporan sejumlah elemen masyarakat terkait konflik kepentingan dalam putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 MK itu lanjut Sulyaden, MKMK kemudian melakukan pemeriksaan secara marathon terhadap seluruh hakim MK dan pada 7 November 2023, secara terbuka MKMK memutuskan memberhentikan Ketua MK Anwar Usman karena dianggap melanggar Sapta Karsa Hutama yaitu Prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
“Selain dipecat, Anwar Usman juga tidak diperbolehkan turut dalam mengadili perkara-perkara yang masuk ke MK khususnya seluruh perkara Pemilu,” tandas Sulyaden.
Atas keputusan MKMK tersebut, Sulyaden menilai, adalah momen yang tepat guna perbaikan lembaga MK. Kasus ini setidaknya telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK sendiri. “Tentu perlu kita apresiasi MKMK yang telah mengambil putusan yang menurut saya sudah tepat dan inilah momen untuk mengembalikan kehormatan dan marwah MK,” ujarnya.
Selain itu lanjut Sulyaden, melalui momen keputusan MKMK tersebut, maka kedepan MK harus diisi hakim-hakim yang beritegritas tinggi, menjunjung kehormatan dan martabat dunia peradilan kita. Mengembalikan kepercayaan masyarakat ini tidak mudah namun pasti bisa. “Yang penting bagaimana proses rekrutman hakim kedepan dapat dilakukan terbuka dan adil serta professional,” ucapnya.
Sedangkan Pengamat Politik, M Haekal Al-Haffafah S.Sos, M.Sos mengatakan, poin penting yang dipersoalkan adalah Conflict of interest yang kemudian putusan MKMK itu terbukti bahwa ada persoalan etik disana.
“Kita sudah mengalami empat kali try of error demokrasi Pertama tahun 1945, Kedua 1955, Ketiga 1967, Keempat 1998 atau yang kita kenal pasca reformasi. Salah satu yang dianggap sebagai kejahatan orde baru adalah nepotisme, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 lewat Ketua MK Anwar Usman telah tampil dan mempertontonkan nepotisme dengan wajah barunya itu,” ujar Haekal.
Dia menambahkan, konsep trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam bingkai demokrasi sebetulnya untuk membagi jenis kekuasaan agar tidak ada kekuasaan politik yang absolut. “Maka kemudian tidak boleh kekuasaan eksekutif, legislatif (dukungan/kendali mayoritas partai) dan yudikatif terkonsentrasi atau berada pada kekuasaan politik yang sama dalam hal ini boleh kita katakan lingkaran politik (keluarga presiden),” tandasnya.
Tentu putusan MKMK ini kata Haekal, adalah kabar gembira bagi mereka masih percaya dengan demokrasi, dalam putusan itu Anwar Usman tidak boleh lagi melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan DPR, DPD, dan DPRD, hal ini merupakan warning bagi hakim MK yang lain.
“Selain itu besok kita sedang menunggu sidang gugatan MK terkait batas usia capres dan cawapres, yang menyoal kepala daerah yang diajukan pemohon adalah harusnya gubernur bukan walikota,” ucapnya.