Korupsi, Keserakahan, dan Pentingnya Menghulukan Penanganan

Ilustrasi -Foto : ANTARA-

Kalau konsekuensi itu tidak sampai menimpa langsung seseorang yang melakukan perbuatan baik atau buruk, bisa dipastikan anak cucunya yang akan menikmati konsekuensi tersebut.

Nilai-nilai tradisional masyarakat mengajarkan pada kita bahwa kenyataan hidup kita, saat ini sering kali dikaitkan dengan tanaman (kebaikan dan keburukan) masa lalu leluhur, setidaknya bapak-ibu atau kakek-nenek kita.

Ambil contoh, mereka yang hidupnya bahagia, dengan harta yang cukup, meskipun tidak tergolong berlimpah bagi penganut paham serakah, seringkali dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan yang ditanam oleh bapak-ibunya, kemudian naik ke kakek-neneknya.

Mereka menikmati keberkahan hidup, salah satunya bersumber dari perbuatan baik yang diwariskan oleh leluhurnya.

Demikian juga sebaliknya, mereka yang hidupnya penuh dengan penderitaan, masyarakat kita juga akan mengaitkan dengan perilaku leluhur yang anak cucunya terpaksa harus menjalani konsekuensi hidup tidak nyaman itu.

Lepas dari kepercayaan waris mewariskan kebahagiaan dan penderitaan, pemaknaan sesungguhnya dari semua ini adalah "hidup hanyalah sementara".

Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, yang dalam khazanah leluhur Jawa dikenal dengan istilah "Urip mung mampir ngombe" atau hidup hanya untuk mampir minum.

Sebagai tempat sementara untuk menuju perjalanan selanjutnya ke kampung akhirat, kita "terlalu serius" mengejar tujuan hidup yang umumnya bersumber dari ego.

Akibatnya kita terlalu serius menumpuk harta yang kita sangka akan membawa kebahagiaan.

Pada saat kontrak hidup dengan Sang Pemilik Hidup berakhir, harta sudah tidak bermakna apa-apa.

Bahkan juga anak, istri atau suami juga tidak bisa bersama kembali untuk menempuh perjalanan selanjutnya dalam episode kehidupan ini.

Di tengah upaya pemerintah melakukan penegakan hukum, segala bentuk tindakan korupsi tidak akan pernah selamat.

Tubuh yang kita fasilitasi dengan berbagai kemewahan selama hidup juga akan ditinggikan dan kembali ke asalnya, yakni bumi alias tanah.

Pembiasaan perenungan mengenai hakikat hidup dapat terus ditumbuhkan di keluarga, sehingga antaranggota keluarga dapat saling mengingatkan, juga di komunitas atau lingkungan terdekat.

Selain itu, lembaga keagamaan hendaknya tidak terjebak pada pemahaman bahwa kepatuhan kepada Tuhan itu hanyalah di aspek ritual, sedangkan di ranah sosial cenderung kurang mendapat perhatian dan pendalaman untuk dijalani.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan