80 Tahun Indonesia Merdeka: Refleksi, Tantangan, dan Harapan !

Presiden Prabowo Subianto-Foto: Istimewa-
Pengalaman sejarah, seperti konflik dengan Belanda di Papua pada 1961-1962, menunjukkan kompleksitas isu kedaulatan wilayah.
Pemerintahan Prabowo Subianto menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas melalui program lumbung pangan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Namun, tantangan geopolitik, seperti blokade perdagangan atau fluktuasi harga komoditas global, dapat memengaruhi keberhasilan program ini.
Ketergantungan pada pasar internasional untuk bahan baku atau energi menempatkan Indonesia pada posisi rentan terhadap tekanan geopolitik, seperti embargo atau gangguan rantai pasok.
Terkait persaingan global dan kemandirian, Indonesia berupaya mengurangi ketergantungan ekonomi pada asing melalui penguatan industri manufaktur dan investasi dalam sumber daya manusia.
Namun, persaingan geopolitik, seperti pengaruh China melalui Belt and Road Initiative dan tekanan perdagangan dari Barat, menuntut strategi diplomasi yang cerdas untuk menjaga kedaulatan ekonomi.
Peringatan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan proses berkelanjutan.
Nilai-nilai, seperti inklusivitas, toleransi, dan tanggung jawab sosial harus tercermin dalam kebijakan publik.
Tantangan, seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan tekanan geopolitik menunjukkan bahwa cita-cita kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud.
Sejarah mengajarkan bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan keras, dan tantangan saat ini menuntut pendekatan berbasis regulasi, bukti ilmiah, pengalaman masa lalu, dan ilmu pengetahuan untuk memastikan kemajuan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa semangat “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan melalui kebijakan yang inklusif dan berkeadilan.
Ketidakstabilan politik domestik, seperti yang tercermin dari aksi-aksi mahasiswa, menunjukkan perlunya dialog yang lebih terbuka antara pemerintah dan masyarakat.
Di sisi lain, posisi Indonesia di panggung geopolitik harus diperkuat, tidak saja melalui diplomasi aktif, namun juga harus disertai strategi cerdas, khususnya menghadapi negara-negara adidaya, agar tidak terbelenggu dengan kolonialisme gaya baru, seperti yang diperlihatkan Donald Trump dalam kebijakan tarifnya.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 mencatat penurunan skor demokrasi Indonesia ke angka 6,44, menempatkan Indonesia di peringkat ke-59 dunia.
Penurunan ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan introspeksi, terutama dalam penataan kabinet agar tidak sekadar menjadi ajang kompensasi politik yang menghambat reformasi demokrasi.