Hari Bhayangkara: Harapan Baru Reformasi Polri !

Hari Bhayangkara Harapan Baru Reformasi Polri-Foto: ANTARA-

Dari sisi lain, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2025 mencatat hanya 50,3 persen responden yang puas dengan tingkat transparansi Polri.

Selanjutnya 51,6 persen mendukung revisi KUHAP agar penyidik Polri setara dengan lembaga lain.

Ini mencerminkan masih adanya ketimpangan antara tren pemulihan kepercayaan dengan ketidakpuasan terhadap keterbukaan institusi secara struktural.

Masyarakat tentu tidak terlupa juga dengan berbagai fenomena gerakan kritis seperti no viral no justice, “percuma lapor polisi”, dan lainnya yang pernah menjadi momok bagi citra Polri di samping berbagai pelanggaran oleh oknum Polri yang pernah viral di media.

Angka-angka dan peristiwa-peristiwa tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa Polri memang sangat menarik perhatian masyarakat, mengalami fluktuasi tingkat kepuasan dan kepercayaan publik, dan mencerminkan harapan masyarakat kepada Polri untuk segera melakukan transformasi.

Dalam berbagai fenomena hukum yang terjadi, kita tentu dapat mengambil beberapa faktor dan tema yang mengiringi upaya untuk meningkatkan kredibilitas Polri.

Pertama adalah mengenai budaya kekerasan yang masih terjadi pada Polri.

Laporan Setara Institute (pada Oktober 2024) misalnya, mencatat adanya budaya kekerasan yang melekat, termasuk penyiksaan, pemaksaan pengakuan, dan pemalsuan tanda tangan.

Selain itu masih adanya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum atau etik lainnya. Akuntabilitas masih minim dan penanganan oknum sering tidak diikuti sanksi yang tegas.

Selain itu, adanya beberapa kasus yang terjadi di tahun 2024-2025 yang bersentuhan dengan profesionalisme Polri.

Misalnya, kasus penembakan terhadap siswa SMK di Semarang, pembunuhan oleh oknum Polri di Bogor, penganiayaan tahanan di Jambi dan Sulawesi Tengah, pelecehan seksual terhadap anak di NTT, kasus pemerasan DWP, pengendalian atau keterlibatan dengan narkoba di sejumlah wilayah, termasuk penjualan senjata ilegal di Papua.

Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang mencoreng nama baik Polri. Namun harus diakui pula bahwa Polri telah memberikan sanksi tegas dan proses hukum yang responsif, walau terkadang masih mendapat citra “melindungi teman sendiri”.

Kedua, kelemahan Polri dalam menghadirkan transparansi. Citra keterbukaan dan transparansi masih menjadi catatan untuk dapat dilakukan pembenahan.

Layanan inovatif Polri seperti digitalisasi layanan (SIM, STNK, SKCK, dan Pengaduan Online) patut mendapat apresiasi tinggi, namun dalam fungsi penegakan hukum, citra Polri masih tertutup atau tidak transparan.

Selain itu, pelayanan publik juga masih berkutat pada wilayah-wilayah  kota besar daripada wilayah lainnya yang masih mencirikan dengan lamban dan rawan dengan pungli.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan