Pulau Tujuh Diperebutkan Kepri dan Babel, DPRD Babel Siap Gugat UU Pembentukan Kabupaten Lingga ke MK

Keindahan Pulau Tujuh yang kini rebutan antara Kabupaten Lingga Provinsi Kepri dengan Provinsi Bangka Belitung (Babel). -Foto : Istimewa-
"Pulau Tujuh ini juga sebagai kawasan pengawasan maritim penguasa lokal dan wilayah diaspora masyarakat Pulau Bangka," katanya.
Ia mendukung rencana gugatan hukum Pemprov Kepulauan Babel terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Kepri yang memasukkan Pulau Tujuh ke dalam wilayah Kepri.
"Saya mendukung langkah Pemprov Kepulauan Babel untuk mengembalikan Puluh Tujuh ini, karena Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Babel mencantumkan pulau tersebut dalam peta lampiran, sedangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepri tidak memuat pulau tersebut di dalam wilayahnya," katanya.
Menurut dia kehilangan Pulau Tujuh merupakan pulau strategis ini akan mengurangi marwah Babel sebagai provinsi kepulauan, menghilangkan akses terhadap potensi sumber daya alam dan menyusutkan luas laut secara signifikan.
"Saya cukup menyayangkan Pemprov Kepulauan Babel tidak segera menggugat UU tersebut sejak 2003 dan saat ini harus mencari solusi melalui proses hukum yang sah, mengingat kedua pihak memiliki dasar historis yang valid," katanya.
Dalam Rapat Badan Musyawarah DPRD Bangka Belitung (Babel) Senin (30/6/2025) ini tak hanya membahas terkait Iuran Penyelenggaraan Pendidikan (IPP) saja, tetapi terkait sengketa Pulau Tujuh masuk dalam pembahasan. Perdebatan alot terjadi seputar langkah hukum yang akan diambil Pemprov Babel.
Wakil Ketua DPRD Babel, Edi Nasapta, memberikan perundingan bahwa rapat menyepakati kajian hukum ke MK atau MA, menyarankan perundingan.
“Dari rapat tadi, disepakati untuk melakukan pengkajian hukum, dengan opsi pengajuan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA). Namun, saya pribadi lebih menyarankan perundingan. Jika Pemprov tetap ingin melakukan judicial review ke MK atau MA, silakan. Tapi, permintaan dana satu miliar rupiah dari Pemprov untuk itu menurut saya terlalu besar. Kita sudah memiliki anggaran yang cukup, seperti SPPD untuk setiap bagian,” jelasnya.
Dikatakan Edi, bawah dana tambahan untuk urusan Pulau Tujuh hanya akan menimbulkan masalah baru, mengingat sejarah permasalahan yang pernah ada.
“Lebih baik menggunakan anggaran yang sudah tersedia. Anggaran untuk kegiatan lain, seperti urusan Labuan, sudah ada. Gaji pegawai dan kajian hukum juga sudah teralokasi. Tidak perlu meminta tambahan dana miliaran rupiah secara spesifik untuk Pulau Tujuh. Penggunaan dana harus transparan dan terhindar dari potensi masalah,” tambahnya.
Pernyataan Edi Nasapta ini mencerminkan kekhawatiran akan potensi pemborosan anggaran dan kerumitan birokrasi jika jalur hukum mahal dipilih.
Ia menekankan pentingnya efisiensi dan transparansi dalam menangani masalah Pulau Tujuh.
“Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengeksplorasi jalur perundingan sebagai alternatif yang lebih ekonomis dan efektif,” tutupnya. (net/ant)