Wako dan Ketua DPRD Prabumulih Sepakat Tidak Masukan Anak Nakal ke Barak Militer

Walikota Prabumulih, H Arlan dan Ketua DPRD Prabumulih, H Deni Victoria -Foto : Prabu Agustian-
KORANPALPOS.COM - Kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang memutuskan untuk mendisiplinkan anak-anak yang dianggap "nakal" dengan mendidik mereka di barak militer, tengah menjadi sorotan nasional.
Keputusan ini menuai pro dan kontra, baik di kalangan masyarakat umum maupun di jajaran kepala daerah di seluruh Indonesia.
Beberapa kepala daerah mendukung kebijakan tersebut sebagai bentuk pembinaan karakter secara keras, namun tak sedikit pula yang menilai pendekatan militer bukanlah solusi ideal.
Salah satu kepala daerah yang secara tegas menyatakan sikap berbeda adalah Wali Kota Prabumulih, H Arlan.
BACA JUGA:Tegakkan Perda, Lapak Pedagang Kaki Lima Dibongkar
BACA JUGA:30 Pemuda Muara Enim Ikuti Pelatihan Konten Kreator
Menurutnya, penanganan anak-anak yang berperilaku menyimpang harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih lembut, humanis, dan memperhatikan aspek psikologis serta lingkungan sosial si anak.
"Budak-budak juge kalu lah dikekang macam itukan ini juga tambah jadi, makanya kita cari solusi panggil wong tunye dan didik," ujar H Arlan dengan logat khas Prabumulih, saat diwawancarai belum lama ini.
Ia menilai bahwa sistem kedisiplinan militer yang terlalu keras justru berpotensi membawa dampak negatif, terutama jika diterapkan tanpa mempertimbangkan latar belakang anak dan penyebab kenakalannya.
Ketimbang menggunakan pendekatan represif, Pemerintah Kota Prabumulih memilih untuk memperkuat pendekatan edukatif, preventif, dan partisipatif dengan melibatkan keluarga dan komunitas.
BACA JUGA:Serahkan Dokumen Raperda Pertanggungjawaban APBD 2024
BACA JUGA:Kejari OKU Bantu Terbitkan 769 Keping KIA
Menurut H Arlan, akar permasalahan dari kenakalan anak-anak dan remaja di kota Prabumulih maupun daerah lain umumnya berakar pada kurangnya kegiatan yang bermanfaat di luar jam sekolah dan ketiadaan pekerjaan bagi para remaja putus sekolah.
Ia menilai, ketidakaktifan ini mendorong anak-anak mencari pelampiasan yang terkadang mengarah pada perilaku menyimpang, seperti tawuran, balapan liar, merokok, hingga penyalahgunaan narkoba.