Putusan MK : Pemerintah Wajib Gratiskan Pendidikan SD-SMP Negeri dan Swasta !

Ilustrasi kegiatan anak sekolah dasar (SD)-Foto : Disway-
KPAI menyambut baik putusan MK tersebut yang dinilainya sebagai tonggak penting dalam pemenuhan hak konstitusional anak atas pendidikan.
"Putusan MK ini adalah bentuk penguatan mandat konstitusi bahwa negara bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan dasar anak. Ini bukan hanya soal biaya, tapi soal keadilan sosial bagi anak-anak Indonesia dari semua lapisan masyarakat," kata Aris Adi Leksono.
Dalam amar putusan MK, frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" ditegaskan sebagai kewajiban negara, termasuk untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
KPAI menilai putusan ini bersifat final dan harus segera dilaksanakan dalam bentuk kebijakan konkret, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, terdapat 29,21 persen anak dari total 30,2 juta anak yang tidak melanjutkan pendidikan karena berbagai hambatan, terutama faktor ekonomi.
"Kami percaya bahwa dengan diterapkannya putusan ini, angka anak tidak sekolah akan menurun signifikan," katanya.
Menurut dia, putusan MK ini peluang besar untuk memperkuat ekosistem pendidikan yang ramah anak, inklusif, dan bebas biaya pada tahap paling dasar.
"Negara harus hadir secara nyata, bukan hanya di atas kertas," kata Aris Adi Leksono.
Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik, Hamidi SIP menilai bahwa keputusan MK harus dipahami secara komprehensif dan tidak serta-merta diterapkan tanpa mempertimbangkan kesiapan pemerintah dan kondisi faktual di lapangan.
“Prinsip pendidikan gratis itu sangat mulia dan merupakan amanat konstitusi. Namun, implementasinya harus realistis. Sekolah negeri saja masih banyak menghadapi persoalan, apalagi jika mencakup sekolah swasta,” ujarnya.
Hamidi menyatakan, pada kenyataannya saat ini masih banyak sekolah negeri yang menghadapi berbagai kendala mulai dari kekurangan fasilitas, infrastruktur yang tidak memadai, hingga masih maraknya pungutan liar dengan dalih kebutuhan operasional yang tidak tercakup dalam dana BOS.
“Seringkali sekolah disebut gratis, tapi praktik di lapangan masih ada iuran ini-itu. Itu menunjukkan bahwa sistem penganggaran belum ideal. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengevaluasi tata kelola keuangan pendidikan terlebih dahulu sebelum memperluas cakupan ke sekolah swasta,” tegasnya.
Terkait sekolah swasta, Hamidi menegaskan bahwa penerapan pendidikan gratis tidak bisa diberlakukan secara merata.
Ia menyarankan agar dilakukan pendataan dan klasifikasi terhadap sekolah swasta, terutama dari sisi karakteristik siswa dan status lembaganya.
“Tidak semua sekolah swasta layak masuk program ini. Ada sekolah swasta elite yang biaya masuknya puluhan juta rupiah dan dihuni oleh anak-anak dari kalangan berada. Sekolah seperti itu tentu tidak bisa disubsidi oleh negara. Tapi ada juga sekolah swasta kecil, berbasis yayasan sosial, yang justru menjadi alternatif bagi siswa dari keluarga miskin yang tidak bisa masuk sekolah negeri karena berbagai kendala,” jelas Hamidi.