Upaya Membasmi Premanisme

Ilutrasi premanisme-Foto : Istimewa-
Berdasarkan data Pusiknas Polri, kasus premanisme berupa pengeroyokan meningkat selama 2022–2024. Pada 2022, kasus pengeroyokan berjumlah 8.830 kasus.
Lalu, meningkat signifikan menjadi 16.502 kasus pada 2023 dan 17.107 kasus pada 2024.
Selain pengeroyokan, Polri juga mencatat bahwa kasus premanisme berupa perampasan pada 2022-2024 menyentuh angka ribuan.
Pada tahun 2022, tercatat terdapat 3.269 kasus. Namun, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 4.784 kasus pada tahun 2023 dan sedikit turun pada 2024 menjadi 4.654.
Sejatinya, Polri pernah melakukan operasi khusus untuk menumpas aksi premanisme pada 2021.
Pada saat itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan agar polda dan polres menindak tegas oknum-oknum yang melakukan aksi premanisme dan tidak memberikan ruang bagi premanisme sedikitpun.
Instruksi ini merupakan respons cepat Polri guna menanggapi maraknya premanisme yang pada saat itu makin meresahkan, utamanya preman yang kerap melakukan pemalakan terhadap sopir kontainer di wilayah Jakarta Utara.
Namun, jika berkaca dari data Pusiknas Polri, jumlah kasus premanisme tidak turunpada tahun-tahun berikutnya. Artinya, penegakan hukum saja tidak cukup untuk menangani masalah ini.
Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia Muhammad Mustofa pernah mengatakan bahwa kejahatan premanisme tidak mungkin akan hilang, tetapi berfluktuasi.
Jika ada penindakan oleh aparat penegak hukum, maka jumlahnya berkurang.
Akan tetapi, jika penindakan kembali longgar karena adanya prioritas lain, maka premanisme akan kembali muncul.
Maka, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang berdampak jangka panjang serta mengatasi akar masalah yang ada agar kejahatan ini bisa berhenti.
Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Eliasta Meliala menilai bahwa munculnya kejahatan premanisme ini merupakan kombinasi dari beberapa hal, yaitu keterbatasan ekonomi, pendidikan rendah, mental menerabas atau cari gampang, struktur mobilitas politik yang macet, serta penegakan hukum yang lemah.
Pendidikan rendah, kata dia, menjadikan orang tidak mampu berkompetisi sehingga hanya dengan berkumpul saja, mereka memiliki nilai tawar lebih.
Selain itu, ekonomi terbatas juga menjadikan kegiatan preman sebagai hal yang menarik karena dengan upaya terbatas, bisa memperoleh banyak uang.