Kue Lapis Kelezatan Tradisional yang Tak Lekang oleh Waktu

Kue lapis bukan sekadar jajanan, tapi warisan budaya yang manis dan membanggakan-foto:Istimewa-
BACA JUGA:Tempe Orek: Hidangan Sederhana yang Tetap Jadi Primadona di Meja Makan
“Kue lapis adalah simbol kesabaran. Setiap lapisan butuh waktu dan perhatian. Tapi hasilnya memuaskan—baik dari segi rasa maupun tampilan,” ujar Ibu Sri, seorang penjual kue lapis tradisional di Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang telah berjualan selama lebih dari 20 tahun.
Di pasaran, kue lapis biasanya dijual dalam potongan kecil dengan harga terjangkau.
Teksturnya yang kenyal dan rasanya yang manis membuatnya cocok dikonsumsi oleh semua usia, dari anak-anak hingga orang tua.
Tak heran jika kue ini kerap hadir dalam berbagai acara seperti arisan, hajatan, perayaan hari besar keagamaan, hingga menjadi suguhan di meja tamu.
Salah satu daya tarik utama kue lapis adalah tampilan warnanya yang mencolok dan menggugah selera.
Warna-warna yang digunakan biasanya berasal dari bahan alami seperti daun pandan, ubi ungu, atau bit.
Namun, banyak juga yang menggunakan pewarna makanan sintetis dengan tetap menjaga kadar aman bagi kesehatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kue lapis mengalami berbagai inovasi.
Banyak pelaku UMKM kuliner mulai menciptakan variasi kue lapis dengan rasa dan bentuk yang lebih modern.
Misalnya, kue lapis rasa cokelat, durian, hingga kopi.
Bahkan ada pula yang membuat versi mini dalam bentuk cup atau stik, sehingga lebih praktis dikonsumsi.
“Kami ingin kue lapis tetap relevan di tengah tren makanan kekinian. Inovasi rasa dan kemasan sangat penting agar generasi muda tertarik untuk mencicipi dan melestarikan kue ini,” kata Dimas, seorang pengusaha muda di bidang kue tradisional di Bandung.
Selain enak, kue lapis juga memiliki nilai gizi.
Kandungan karbohidrat dari tepung beras dan sagu dapat menjadi sumber energi. Sementara santan memberikan lemak nabati yang bermanfaat.