Desak Hapus Sistem Outsourcing, Buruh Terus Suarakan Hak dan Keadilan Dalam Momen May Day

Aksi buruh dari berbagai organisasi Serikat pekerja melakukan aksi dalam momen hari buruh di Kota Palembang. -Foto : Koer Palpos -
Dukungan itu disampaikan Ketua FSBBM Rahamsyah SH MH, enam tuntutan yang disampaikan Serikat Pekerja/Serikat Buruh kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai penyelamatan ekonomi.
Apalagi, kata Rahmansyah, penerapan sistem outsourcing ini merugikan pekerja utamanya terhadap keberlangsungan kerja dan kesejahteraan pekerja serta terbatasnya hak pekerja.
"Salah satunya pekerja outsource cenderung sulit berkembang," ujar Rahmansyah.
Dijelaskannya sistem kerja outsourcing bagi karyawan akan sulit berkembang karena dibatasi dengan kontrak jangka pendek.
Artinya sulit bagi karyawan outsourcing untuk berkembang dalam karir," tukasnya
Selain itu proses rekrutmen dan peralihan tenaga kerja akan memakan waktu lama, sementara kontrak kerja yang singkat.
Belum lagi karyawan mengalami diskriminasi kebijakan yang dirasakan ketidakadilan dalam bekerja dan memperoleh hak-haknya.
Tuntutan buruh yang mendesak pemerintah menghapuskan sistem outsourcing, juga direspon sejumlah pekerja swasta di Sumsel.
Darma, seorang pekerja kontrak di perusahaan manufaktur di kawasan industri Palembang mengaku, bahwa sistem outsourcing membuatnya terus hidup dalam ketidakpastian.
“Sudah lima tahun saya kerja, tapi status saya masih outsourcing. Setiap tahun harus tanda tangan kontrak baru. Tidak ada jaminan besok saya masih diterima atau tidak,” ujarnya, Kamis (1/5).
Menurutnya, sistem outsourcing kerap dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak pekerja secara penuh.
Ia mengaku tidak mendapatkan tunjangan hari raya, jaminan pensiun, maupun kesempatan untuk jenjang karier yang jelas. Senada dengan itu, Evi, pekerja perempuan di sektor perhotelan di Sumsel juga merasakan hal serupa.
Ia menyebut outsourcing kerap membuat pekerja kehilangan suara saat menghadapi pelanggaran hak.
“Kalau kita bersuara atau komplain soal upah, langsung takut nggak diperpanjang kontraknya. Jadi kita terpaksa diam,” keluhnya.
Aksi buruh pada 1 Mei 2025, menurutnya menjadi bentuk solidaritas dan perlawanan terhadap praktik ketenagakerjaan yang menurutnya tidak adil.