RUU ASN Didorong untuk Atasi Masalah Ketidaknetralan ASN di Pilkada

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda.-Foto : ANTARA -
Dengan demikian, ASN pada level strategis tidak lagi terikat langsung secara struktural dengan kepala daerah.
“Kalau mutasi dan pengangkatan mereka ditarik ke pusat, maka akan sulit bagi kepala daerah untuk menggunakan ASN sebagai alat politik,” tegas Rifqi.
Model ini diharapkan bisa menciptakan jarak yang sehat antara kekuasaan politik lokal dan birokrasi pemerintahan.
Hal ini juga sejalan dengan semangat profesionalitas ASN sebagaimana diamanatkan dalam reformasi birokrasi nasional.
RUU tersebut merupakan inisiatif Komisi II DPR RI berdasarkan penugasan dari Badan Legislasi DPR RI, dan saat ini masih dalam tahap permintaan kajian akademik dari Badan Keahlian DPR.
Rifqi menyebutkan bahwa Komisi II ingin memastikan bahwa naskah akademik RUU ASN disusun dengan kajian yang komprehensif dan inklusif, mengakomodasi berbagai sudut pandang dari akademisi, praktisi, serta pemangku kepentingan lainnya.
“Kami minta Badan Keahlian DPR tidak hanya melakukan kajian normatif, tapi juga menyerap masukan dari sebanyak mungkin pakar dan stakeholder,” ujarnya.
Ia menambahkan, pendekatan tersebut penting untuk menjamin legitimasi proses legislasi agar tidak cacat secara formil.
DPR ingin memastikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi strategis ini betul-betul bermakna.
“Kalau prosesnya terbuka, argumentatif, dan partisipatif, maka ketika undang-undangnya lahir, tidak akan mudah dipersoalkan, baik dari sisi substansi maupun formalitasnya,” tambahnya.
Rifqi memastikan bahwa seluruh pembahasan RUU akan dilakukan secara terbuka di Komisi II DPR, dan masyarakat bisa terus mengikuti perkembangan maupun memberikan masukan selama prosesnya berjalan.
Revisi UU ASN ini juga tak lepas dari momentum menuju Pilkada Serentak 2024, yang akan digelar pada November mendatang.
Ketidaknetralan ASN dinilai sebagai salah satu tantangan utama dalam menjaga integritas pemilu di tingkat lokal.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat bahwa dalam Pilkada 2020 dan 2018 lalu, ASN merupakan pelanggar netralitas terbanyak, bahkan melebihi jumlah pelanggaran oleh peserta pemilu.
Modusnya bervariasi: mulai dari kampanye terselubung, unggahan dukungan di media sosial, hingga penyalahgunaan program pemerintah untuk memenangkan calon tertentu.