Teknologi Bayi Tabung Indonesia Tidak Kalah dengan Negara Maju

lustrasi program bayi tabung.-Foto : ANTARA -
“Banyak yang sebelumnya berencana ke Malaysia, Thailand, atau Singapura, akhirnya batal karena setelah dibandingkan, pelayanan di Indonesia ternyata tak kalah, bahkan lebih nyaman karena tidak perlu menghadapi kendala bahasa dan birokrasi antarnegara,” ujar Gita.
BACA JUGA:Jaga Kesehatan Mata dan Cegah Anemia dengan Buah Murbei
BACA JUGA:Obati Diare dan Asma dengan Biji Jambu Air
Pasangan-pasangan muda, maupun mereka yang telah lama menanti buah hati, kini memiliki banyak pilihan klinik IVF terpercaya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Denpasar.
Klinik-klinik ini menawarkan layanan lengkap, mulai dari pemeriksaan kesuburan, pengambilan sel telur, pemupukan, hingga pemantauan embrio dan transfer ke rahim.
Namun, kemajuan teknologi ini belum merata di seluruh Indonesia. Gita mengakui bahwa sebagian besar layanan IVF masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali.
Sementara itu, di wilayah timur Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, layanan bayi tabung masih sangat terbatas atau bahkan belum tersedia.
“Distribusinya belum merata. Ini PR besar kita bersama. Bayangkan, pasangan dari Papua atau NTT harus terbang ke Jakarta atau Surabaya untuk mengikuti seluruh rangkaian proses yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Tentu ini sangat melelahkan secara fisik, mental, dan biaya,” jelasnya.
Gita menyebutkan bahwa Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (Perfitri), sebagai organisasi profesional, tengah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperluas akses layanan ke daerah-daerah tersebut.
Salah satunya dengan mendorong dibukanya pusat-pusat layanan fertilitas di rumah sakit daerah yang memiliki sumber daya dan potensi untuk mengembangkan layanan serupa.
Meski secara teknologi sudah mumpuni, tantangan utama yang masih dihadapi program bayi tabung di Indonesia adalah persoalan pembiayaan.
Gita menjelaskan bahwa program bayi tabung belum masuk ke dalam cakupan layanan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sehingga pasangan harus menanggung sendiri seluruh biayanya yang bisa mencapai Rp40 juta hingga Rp100 juta per siklus.
“Ini yang menjadi kendala besar bagi banyak pasangan, terutama mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Padahal infertilitas juga merupakan masalah kesehatan yang serius, bukan sekadar ‘gaya hidup’. Kita ingin semua orang punya hak untuk menjadi orang tua,” katanya.
Saat ini, Perfitri bersama para pemangku kepentingan sedang mengupayakan agar ada skema pembiayaan yang lebih inklusif.
Beberapa rumah sakit telah menjalin kerja sama dengan lembaga pembiayaan kesehatan swasta dan pemerintah daerah untuk memfasilitasi pasien dengan kemampuan ekonomi terbatas.