Tragedi Tarif Trump

Donald Trump.-Foto : Istimewa-

Selanjutnya, Trump pada 2 Februari mengumumkan "Hari Pembebasan" dengan mengumumkan tarif internasional yang berbeda-beda kepada puluhan negara (Indonesia sendiri dikenakan tarif 32 persen).

Pada periode 3-8 April, Trump hingga sejumlah pejabat pemerintahannya dan para pendukungnya di Kongres bersikeras bahwa Trump tidak akan mundur di bawah tekanan hanya karena kebijakan tarifnya mengguncang pasar global dan meningkatkan kekhawatiran akan resesi.

Simsalabim pada Rabu (9/4) lalu, Trump menyatakan bahwa kali ini tarif yang akan dikenakan adalah 10 persen ke seluruh negara, tetapi khusus China yang dianggap Trump "tidak menghormati" kebijakan tarif pemerintah AS, maka akan mendapatkan tarif hingga sebesar 145 persen.

China sebenarnya mendapat tarif 125 persen yang dikenakan Trump untuk mengatasi defisit perdagangan AS dengan China serta menghukum Beijing karena membalas pajak impor AS.

Sedangkan angka 145 persen tersebut, yang dipublikasikan dalam memo Gedung Putih pada Kamis (10/4), diperoleh dari tambahan dari pungutan 20 persen yang diberlakukan awal tahun ini terhadap China.

Mendengar beragam inkonsistensi tersebut, MNSBC mengutip Anggota DPR AS Jim McGovern yang menyatakan "Bagaimana perusahaan mana pun dapat meramalkan masa depan mereka, membangun pabrik, mempekerjakan pekerja," jika ternyata tidak ada kepastian atau konsistensi terhadap kebijakan apa lagi yang bakal diumumkan Trump terkait dengan kebijakan tarifnya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kerap berubahnya pengumuman terkait tarif bakal dipastikan menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku bisnis dan konsumen tidak hanya di AS, tetapi banyak negara.

Selain itu, efek negatif lainnya adalah pengenaan tarif yang tiba-tiba dan penarikan sebagian tarif menyebabkan volatilitas pasar, dengan kecenderungan volatilitas ini menyoroti besarnya ketergantungan investor pada kestabilan, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang dampak jangka panjang pada sistem keuangan global.

Redaktur Ekonomi BBC, Faisal Islam juga menyatakan dalam artikelnya bahwa ada pula penantian yang sangat mencemaskan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kecemasan itu antara lain adalah apakah Presiden Trump akan terus mengenakan tarif terhadap produk farmasi atau obat-obatan, atau mengenai potensi kekacauan logistik yang mungkin terjadi akibat pajak pelabuhan bernilai jutaan dolar yang tidak banyak diketahui untuk setiap kapal kargo yang berlabuh di AS yang "dibuat di China".

Sebagaimana diketahui, jumlah kapal kargo yang memenuhi kriteria itu adalah lebih dari setengah armada dagang global.

Islam mengingatkan, bahkan dengan pernyataan Trump yang menunda penerapan tarif yang lebih tinggi (terhadap puluhan negara) selama 90 hari, masih ada terlalu banyak ketidakpastian bagi perusahaan untuk menjalani kerumitan pengalihan rute perdagangan global.

Sementara itu, pemerintah China menegaskan bahwa meski tidak ingin melakukan perang dagang, mereka tidak takut menghadapi tarif AS.

Hal itu dikemukakan secara lugas oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Kamis, dengan menyatakan bahwa China tidak takut dan "tidak akan tinggal diam ketika hak dan kepentingan sah rakyat China dirugikan atau ketika rezim perdagangan multilateral dirusak".

Untuk itu, ujar Lin Jian, jika AS bertekad untuk berperang tarif dan perdagangan, maka China juga bertekad untuk menanggapinya secara terus-menerus hingga akhir.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan