Lebaran : Merajut Persatuan di Tengah Polarisasi Politik

Ilustrasi saat orang saling bersalaman dan bermaaf-maaf seusai shalat Idul Fitri.-Foto: Istimewa-
Namun, ia juga mengingatkan bahwa polarisasi sering kali terjadi karena kegagapan elit dalam merespons kritik publik.
Ketika pemerintah kurang berempati dan lebih bersikap defensif terhadap aspirasi rakyat, ketegangan politik semakin meningkat.
Oleh karena itu, diperlukan pola komunikasi yang lebih partisipatif dan dialogis antara pemerintah dan masyarakat.
Beberapa langkah konkret yang bisa diambil untuk memperkuat semangat nasionalisme di tengah perbedaan politik, yakni meningkatkan keterbukaan pemerintah dalam merespons kritik agar tidak menimbulkan antipati dari masyarakat.
Lalu, mendorong kesadaran masyarakat bahwa perbedaan politik bukanlah perpecahan tetapi bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
Selanjutnya, menjadikan Lebaran sebagai momen untuk membangun narasi persatuan, baik melalui pidato kenegaraan, tokoh agama, maupun media sosial.
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial menjadi faktor utama dalam memperkuat polarisasi di Indonesia.
Sejak Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, hingga Pilpres 2019, penggunaan buzzer dan penyebaran hoaks telah memperparah jurang perbedaan di masyarakat.
Caroline Paskarina menegaskan bahwa media sosial memiliki dua sisi, yaitu menjadi sarana edukasi dan demokrasi dan menciptakan perpecahan jika tidak digunakan dengan bijak.
Untuk itu, literasi digital menjadi kunci utama dalam menangkal polarisasi di media sosial.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan masyarakat untuk lebih bijak dalam bermedia sosial.
Pertama, mengecek kebenaran informasi sebelum membagikannya guna mencegah penyebaran hoaks yang dapat memicu kebencian.
Kedua, menghindari debat yang provokatif dan lebih mengutamakan diskusi berbasis data dan fakta.
Ketiga,tidak terprovokasi oleh buzzer atau narasi yang memecah belah.
Keempat, menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan positif dan nasionalisme, seperti semangat gotong royong dan persatuan.