Kurma, Nilai Spiritual dan Potensi Ekonomi

Pedagang kurma musiman menata buah kurma di kawasan Pasar Bina Usaha, Meulaboh, Aceh Barat-Foto: Istimewa-

Namun, tidak semua daerah memiliki kondisi ideal tersebut.

Tantangan utama budidaya kurma di Indonesia adalah kelembapan tinggi dan curah hujan yang berbeda dengan habitat aslinya.

Kelembapan tinggi dapat menyebabkan buah mudah membusuk jika dibiarkan terlalu lama di pohon.

Oleh karena itu, daerah dengan musim kemarau panjang atau tanah berpasir cenderung lebih cocok.

Meski demikian, pengalaman menunjukkan bahwa kurma dapat tumbuh di berbagai kondisi, mulai dari dataran rendah panas hingga dataran tinggi beriklim sejuk, asalkan mendapatkan sinar matahari penuh dan dikelola dengan teknik budidaya yang tepat.

Pemerintah Indonesia telah mulai mendukung pengembangan kurma.

Sejak 2006, tanaman kurma telah dimasukkan sebagai salah satu komoditas binaan Ditjen Hortikultura.

Hal ini tertuang dalam Permentan No. 151/Kpts/PD.310/9/2006, yang memasukkan kurma sebagai komoditas hortikultura yang dikembangkan pemerintah.

Selain dukungan regulasi, telah muncul asosiasi petani kurma, seperti Perkumpulan Penggiat Kurma Indonesia yang dibentuk sejak 2016 untuk memfasilitasi kerja sama dan pertukaran informasi di kalangan petani kurma.

Harga jual kurma segar hasil budidaya lokal pun cukup tinggi.

Sebagai gambaran, kurma segar jenis ruthob (kurma basah matang) di Lombok Utara dihargai sekitar Rp250 ribu hingga Rp360 ribu per kg.

Dengan produktivitas yang tepat, potensi pendapatan per pohon bisa besar.

Misalnya, satu pohon kurma betina dewasa di iklim tropis dapat menghasilkan 100–300 kg buah per tahun.

Jika dijual seharga Rp100 ribu/kg, satu pohon dapat menghasilkan pendapatan Rp 10juta–30 juta per tahun.

Bahkan, varietas unggul seperti Barhee yang dijual dengan kemasan premium bisa bernilai lebih tinggi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan