Kisruh BBM Oplosan : YLKI Desak Audit Transparan !

Kisruh BBM Oplosan-Foto: Istimewa-
Sebab kendaraan yang mengonsumsi BBM di bawah standar bisa mengalami kerusakan mesin lebih cepat.
Biaya perawatan meningkat, daya tahan mesin menurun, dan pada skala yang lebih luas, ini berdampak pada daya beli serta produktivitas masyarakat.
Lebih jauh, ketidakpercayaan terhadap penyedia energi nasional dapat mengganggu stabilitas pasar.
Konsumen yang merasa dirugikan akan mencari alternatif lain, bahkan jika itu berarti beralih ke pemasok swasta atau bahan bakar impor yang lebih mahal.
Jika dibiarkan berlarut-larut, ini bisa menjadi bumerang bagi industri energi nasional.
Ini belum termasuk angka kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi terkait hal itu.
Namun, setelah mendapatkan penjelasan yang rinci dari Pertamina Patra Niaga yang dipanggil secara khusus ke Gedung DPR RI pada Rabu, 26 Februari 2025, Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi justru meyakini ada mispersepsi soal peristilahan blending.
Blending bukan berarti pengoplosan atau mengubah RON BBM dari 90 (Pertalite) ke 92 (Pertamax), melainkan justru untuk menambah kualitas dan performa BBM.
Jika benar hal tersebut yang terjadi, maka diperlukan langkah konkret untuk meredam polemik ini dan mengembalikan kepercayaan publik, termasuk untuk mengaudit secara transparan dan terbuka.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, perlu segera membentuk tim independen untuk mengaudit kualitas BBM yang beredar di pasaran.
Hasilnya harus dipublikasikan secara berkala, bukan hanya sebagai laporan internal yang tertutup.
Dengan demikian, masyarakat bisa melihat sendiri bahwa tidak ada yang ditutup-tutupi.
Di sisi lain, pengawasan kualitas BBM di Indonesia perlu mengalami reformasi besar untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi.
Teknologi yang digunakan oleh Pertamina, seperti sistem ELTRO, telah memberikan fondasi yang cukup baik dalam quality control, tetapi masih memerlukan peningkatan lebih lanjut, bukan semata demi tetap terjaganya kepercayaan konsumen terhadap sistem distribusi, tetapi juga mencegah potensi kecurangan yang mungkin terjadi di sepanjang rantai pasok.
Di sisi lain, konsumen sebagai pengguna akhir juga memiliki hak untuk mengetahui kualitas bahan bakar yang mereka beli.