Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD : Kemunduran Demokrasi ?
Gedung DPR RI senayan Jakarta dan aktifitas rapat anggota DPR RI.-Foto : Disway-
Warga lainnya juga berharap adanya ruang dialog lebih luas antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk mendiskusikan wacana ini.
"Penting bagi masyarakat untuk dilibatkan dalam setiap perubahan sistem. Jangan sampai keputusan diambil sepihak tanpa mendengar suara kami," ujar Ika, seorang warga Kota Palembang.
Ia menekankan pentingnya adanya sosialisasi yang jelas tentang keuntungan dan risiko dari perubahan sistem Pilkada, agar masyarakat bisa lebih memahami dampak dari keputusan tersebut.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC) pada Kamis (12/12), menyebut bahwa sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD lebih efisien dan dapat mengurangi beban anggaran negara.
“Saya melihat negara-negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura lebih efisien. Pilih sekali anggota DPRD, lalu DPRD yang menentukan kepala daerah,” jelas Prabowo.
Prabowo juga menyoroti besarnya anggaran politik yang harus dikeluarkan dalam pilkada langsung.
“Berapa puluh triliun rupiah habis hanya untuk satu-dua hari pemilihan. Anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperbaiki sekolah, atau membangun infrastruktur seperti irigasi,” katanya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Jazilul Fawaid, yang menyebutkan bahwa pilkada di provinsi besar seperti Jawa Barat bisa menghabiskan lebih dari Rp1 triliun.
Menurutnya, anggaran sebesar itu dapat dialihkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di daerah-daerah yang membutuhkan.
Kritikan dari Aktivis Demokrasi
Namun, wacana ini tidak lepas dari kritik.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyebutkan bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi mereduksi partisipasi rakyat dalam demokrasi.
“Pemilihan melalui DPRD bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite politik. Ini dapat memunculkan pemimpin yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat,” ujar Titi dalam wawancara, Minggu (1/12).
Menurut Titi, meskipun sistem ini menawarkan efisiensi, potensi dominasi oligarki politik semakin besar karena keputusan pemilihan kepala daerah hanya akan berada di tangan segelintir elite.
Ia juga menyoroti risiko politik uang yang berpindah dari masyarakat luas kepada anggota DPRD.