Citra Pemimpin, Antara Obsesi, Realitas dan Utopia

--
Akibatnya, pemimpin yang pada mulanya dipilih, lambat-laun seringkali bertindak reseptif pada pemilih-pemilihnya dulu.
Maka hadirlah utopia, berupa mitos-mitos tentang pemimpin yang adil dan zaman yang gemilang, pemimpin menjadi barang langka dan "keramat" yang dicitrakan teramat ideal pada benak pemilihnya.
Utopia atas datangnya seorang pemimpin yang dicitrakan begitu ideal dan membawa harapan indah, pada realitasnya seringkali berujung pada kekecewaan dan ketakpuasan pada para pemilihnya.
Dalam sebuah naskah drama karangan Ionesco, berjudul "The Leader", diceritakan masyarakat di sebuah negeri yang menanti-nanti datangnya seorang pemimpin agung.
Pemimpin yang bakal muncul tersebut telah disebarluaskan sebagai pemimpin yang adil, agung, ideal, ramah, gagah, dan tampan.
Setelah suntuk menanti, muncullah pemimpin itu, tragis dan ironis, ternyata sang pemimpin tidak berkepala.
Tentu Ionesco tidak sengaja menyindir kita, namun sejarah bangsa ini sedikit banyak punya kemiripan dengan naskah drama tersebut.
Ketika era presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, hingga Megawati muncul, pada mulanya mereka dicitrakan sebagai sosok yang begitu ideal, tetapi seiring perjalanan waktu, lama-lama dianggap tidak seideal yang dulu dicitrakan.
Sejatinya memang tidak ada manusia yang sempurna.
Hal ini, sebenarnya cukup mengajarkan pada rakyat untuk tidak terlampau silau memandang dan menyikapi fenomena kemunculan seorang tokoh calon pemimpin.
Masyarakat diingatkan untuk tidak terlampau melambungkan harapan dalam mencitrakan sosok pemimpin, sehingga nantinya tidak terlalu kecewa dan frustasi dengan pemimpin yang realitasnya tidak seideal dengan apa yang dicitrakan sebelumnya.
Itulah risiko demokrasi. Dalam demokrasi, seseorang harus legawa dan siap untuk kecewa (dikecewakan), siap menang, tapi juga sedia menerima kekalahan.
Dalam demokrasi seseorang bisa kepincut karena canggihnya strategi kehumasan (PR) berupa kampanye yang digunakan sebagai mesin pendulang simpati dan empati calon pemilih.
Demokrasi sebagai hasil produk akal manusia tetap menyimpan paradoksal, ibarat obat yang baik untuk diminum, tapi tetap punya efek samping.
Dalam alam demokrasi, setiap orang harus pula belajar menerima kekalahan dan kenyataan.