Citra Pemimpin, Antara Obsesi, Realitas dan Utopia
--
Oleh : Dr Tjahjono Widijanto*
Pada 508 SM, lebih dari dua ribu lima ratus tahun lampau, seorang pemimpin Yunani bernama Kleistenes mengubah bentuk pemerintahan Kota Athena. Sebuah majelis dipilih bersama secara berkala, lahirlah demokratia.
Sejak itu, rakyat, masyarakat, dan setiap orang diharapkan dapat bertahan memilih pemimpin, sesuai dengan citra dan idealnya masing-masing, sekaligus dapat pula mengajukan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin.
Demokrasi membuka ruang selebar-lebarnya bagi setiap individu untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
BACA JUGA:Mengapa Profesi Guru Rentan Dikriminalisasi
BACA JUGA: 79 Tahun TNI : Menghadapi Tantangan Perang Modern tanpa Laras Panjang !
Memilih dan dipilih, mengkritik dan dikritik, itulah spirit dari gegap gempita "makhluk" bernama demokrasi.
Dalam demokrasi, kita semua, dalam periode waktu tertentu dapat larut dalam gegap-gempita, bahkan, kadang-kadang mengekspresikan rasa gembira dengan membuat persiapan memilih seorang pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik di masa depan.
Partai-partai politik dengan berbagai cara menawarkan calon-calon kepada masyarakat.
BACA JUGA: Perencanaan Pangan Kunci Utama Swasembada Pangan
BACA JUGA: Tapera, Antara Niat Baik dan Beban
Calon-calon pemimpin, terlebih lagi menjelang pemilu, ibarat ayam jago, makin sering dielus-elus dan dilemparkan di tengah gelanggang.
Politik ibarat pasar raksasa, masyarakat sebagai konsumen, dan bakal pemimpin merupakan komoditas yang diupayakan laku di pasaran.
Seorang wakil rakyat di legislatif, seorang presiden, menteri, gubernur, bupati, bahkan ketua RT, pada hakikatnya adalah pemimpin, dan menjadi pemimpin sesungguhnya adalah kebutuhan yang wajar bagi setiap manusia, selain kebutuhan ekonomis-material.