Menjelang hajatan akbar elektoral, partai ini malah dilanda kemelut. Ketua Umum Suharso Monoarfa mendadak diganti M. Mardiono. Padahal, pada saat bersamaan, sejumlah partai besar intens menggalang konsolidasi internal menghadapi Pemilu 2024.
Keputusan PPP ikut mendukung capres-cawapres usungan PDIP Ganjar Pranowo-Mahfud Md., dianggap sebagai salah strategi. Pilihan dukungan ini diperkirakan ikut memerosotkan suara PPP.
BACA JUGA:Ada Kemungkinan Anies Didukung PDIP-PKS di Pilkada Jakarta
BACA JUGA:KPU Siap Tindaklanjuti Putusan MK Kabulkan 44 Perkara PHPU Pileg 2024
Keputusan elite PPP bergabung ke capres nomor urut 3 itu belakangan tidak sepenuhnya diamini kader dan simpatisan akar rumput. Banyak di antara mereka memilih mendukung Capres-Caapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1) dan Prabowo-Gibran (nomor urut 2).
Perolehan suara Ganjar-Mahfud Md. pada Pilpres 2024 yang hanya 16,47 persen mengonfirmasi bahwa banyak pemilih tradisional PDIP dan PPP malah memberikan dukungan ke capres-cawapres lain dan bisa jadi mereka juga memilih partai lain yang mendukung Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran.
Lantas, setelah gagal menempatkan wakilnya di DPR RI dari hasil Pemilu 2024, masih adakah masa depan bagi PPP?
Pertanyaan itu memang layak diangkat, mengingat dua partai yang pernah masuk ke DPR RI lalu tersingkir akibat perolehan suaranya gagal memenuhi ambang batas parlemen, tidak ada yang bisa rebound alias sukses menempatkan kembali wakilnya di parlemen.
Partai Bulan Bintang dan Hanura yang kembali berlaga pada Pemilu 2024, misalnya, masing-masing hanya meraup 0,32 persen dan 0,72 persen. Kecilnya perolehan suara PBB dan Hanura tersebut mengindikasikan keduanya tidak memiliki infrastruktur organisasi yang solid hingga akar rumput. Keterbatasan sumber daya finansial tentu menjadi kendala partai untuk menembus kerasnya persaingan perebutan suara. Betapa pun, dengan luas dan sebaran penduduk, setiap partai dituntut memiliki dana dan infrastruktur di semua lini agar bisa menjangkau hingga tingkat rukun tetangga (RT).
BACA JUGA:Langgar Perda : APK Bakal Calon Kepala Daerah Akan Tertibkan !
Hanya saja, keberadaan PPP sesungguhnya tidak bisa disamakan dengan PBB dan Hanura, baik dari sisi kesejarahan, infrastruktur partai, hingga kuatnya ikatan emosional (militansi) para kader terhadap partai yang sama-sama berbasis massa Islam tersebut.
PPP yang berdiri pada 5 Januari 1973 atau sudah berusia lebih dari setengah abad itu hampir memiliki struktur kepengurusan partai hingga kabupaten/kota. PPP juga memiliki sayap-sayap partai yang bisa digerakkan.
Sebagian besar DPRD di kabupaten/kota dan provinsi juga masih menyisakan wakil rakyat dari PPP, bahkan masih ada yang sangat kuat, seperti di Jepara, Jawa Tengah. Dari sisi popularitas "merek", PPP juga masih kuat, setidaknya dibanding partai-partai lain yang juga gagal menembus DPR RI.
Meski tidak lagi menempatkan wakilnya di DPR RI, berdasarkan hasil Pemilu 2024, PPP masih memiliki 80 kursi DPRD provinsi serta sekitar 800 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia.
Masih eksisnya wakil rakyat PPP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Pemilu 2024, setidaknya masih menyisakan "jembatan" antara rakyat dengan partai. Modal inilah yang bisa digunakan untuk merawat kantong-kantong tradisional suara partai ini.
Menyadari masih besarnya potensi suara PPP, apa yang ditekankan Sekjen PPP Muhamad Arwani Thomafi dalam Rapimnas pada 6 Juni lalu, menyiratkan kesiapan PPP menyongsong masa depannya.