Rumah ini juga memiliki ciri khas tidak menggunakan jendela, hanya memiliki satu pintu di bagian tengah, terbuat dari sekeping kayu dengan engsel sumbu di atas dan di bawah pintu.
Ketika memasuki Rumah Baghi, pengunjung akan menemukan ruang tanpa sekat atau kamar.
Namun, lantai di dalam ruangan memiliki dua tingkat, dengan lantai lebih tinggi diperuntukkan untuk keluarga dari garis keturunan laki-laki, sementara bagian bawah untuk keturunan perempuan.
Hal ini mencerminkan adat patrilineal masyarakat Besemah.
Rumah Baghi terdiri dari tiga ukuran: kecil, sedang, dan besar, yang menunjukkan status sosial pemiliknya.
Ornamen yang indah pada rumah juga menjadi penanda status sosial. Bahan baku pembuatan rumah, kayu pulai, diperoleh dari hutan dengan dua versi cerita: roh halus membawa kayu atau dibantu oleh hewan ternak seperti sapi atau kerbau.
Meski berumur ratusan tahun, Rumah Baghi di Desa Tegurwangi, Pagaralam, Sumatera Selatan, masih kokoh berdiri.
Ini menjadi bukti kecakapan dan kreativitas tinggi masyarakat Besemah.
Namun, untuk menjaga dan melestarikan kekayaan budaya ini, diperlukan perhatian dari pemerintah daerah dan masyarakat luas.
Rumah Baghi tidak hanya sekadar bangunan, tetapi juga simbol keberanian, ketangguhan, dan kearifan lokal masyarakat Besemah.
Semoga kehadiran Rumah Baghi terus menginspirasi kita semua untuk menghargai dan melestarikan keberagaman budaya Indonesia yang luhur. ***