Dirjen Maxi memastikan penerapan teknologi itu aman karena memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang ada pada serangga dan telah melalui penelitian yang relatif cukup panjang.
Penelitian teknologi wolbachia di Yogyakarta selama 12 tahun, mulai 2011 hingga 2023.
Penelitian ini melewati empat tahapan penelitian, mulai dari fase kelayakan dan keamanan (2011—2012), fase pelepasan skala terbatas (2013—2015), fase pelepasan skala luas (2016—2020), dan fase implementasi (2021—2022).
BACA JUGA:Luar Biasa! Bonggol Nanas Bisa Mengobati Nyeri Sendi, Simak caranya!
BACA JUGA:Bagi Penderita Diabetes, Habis Sahur Jangan Langsung Tidur agar Gula Darah Tidak Naik !
Di dunia, kata dia, studi pertama aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT) yang merupakan sebuah desain dengan standar tertinggi.
Di Indonesia, lanjut dia, analisis risiko diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes Kemenkes dengan melibatkan 20 orang dari berbagai kepakaran.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa pelepasan nyamuk ber-wolbachia memiliki risiko yang sangat rendah.
"Dalam 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya dari penyebaran Aedes aegypti ber-wolbachia dapat diabaikan (negligible)," katanya.
Pada tahun 2023, WHO telah merekomendasikan penggunaan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia. Meski nyamuk ber-wolbachia telah disebar, Maxi mengimbau masyarakat untuk melengkapi upaya pencegahan dengan menerapkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M plus.
Langkah tersebut, menurut dia, dapat dilakukan dengan menguras tempat penampungan air, menutup tempat-tempat penampungan air, dan mendaur ulang berbagai barang yang berisiko dijadikan tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan demam berdarah dengue pada manusia. (ant)