Maut Datang Usai Nekat Telanjangi Nukit Tapanuli

Kamis 11 Dec 2025 - 21:48 WIB
Reporter : Maryati
Editor : Dahlia

Bau tanah basah menggantung di udara, tajam dan dingin, seperti pengingat bahwa bencana belum selesai sepenuhnya.

Ketika gelap itu perlahan naik dari lembah menuju lereng, barulah warga menyadari bahwa apa yang mereka alami bukan hanya banjir sesaat, melainkan keruntuhan besar yang berakar jauh ke atas bukit.

Cahaya pagi berikutnya menyingkap bukan hanya rumah-rumah yang hilang, tetapi juga tubuh alam yang koyak dari hulu hingga ke hilir.

Dari sinilah cerita bencana itu melebar, menampakkan wilayah terdampak yang jauh lebih luas daripada yang dibayangkan siapa pun malam sebelumnya.

Di desa-desa yang berdiri di bawah bayangan bukit, cerita tentang “suara tanah” bukan mitos.

Retakan halus di tengah malam, geseran kecil yang hanya terdengar oleh mereka yang terbiasa berjaga hingga larut, serta getaran samar kerap mengirimkan bisikan peringatan.

Namun, tak semua telinga mau mendengarnya. Suara tanah sering tenggelam oleh deru mesin, oleh kekhawatiran perut hari ini, oleh pikiran-pikiran sederhana yang hanya ingin bertahan hidup dengan cara apa pun.

Hidup di Hutanabolon berjalan seperti air sungai yang tidak pernah menoleh ke belakang. Petani tetap naik ke ladang. Sopir tetap melaju melewati tikungan sempit di tepi jurang.

Anak-anak masih bermain di batas rumah yang rapuh, seolah bahaya hanyalah angin lewat dari lembah. Ketika tanah akhirnya merosot, bukit tidak memilih.

Ia memeluk apa pun yang ada di bawahnya dalam gelap: rumah, jalan, ladang, manusia. 

Setelah itu, seperti siklus yang tidak pernah selesai, manusia kembali. Mereka menggali lumpur, menegakkan papan baru, menumpuk batu untuk fondasi rumah yang sama, di tempat yang sama.

Ketabahan dan keterpaksaan tidak lagi bisa dibedakan. Tanah rawan tetap tanah yang mereka miliki. Dan bagi sebagian orang, itu sudah cukup.

Namun tahun ini, gelapnya lebih pekat. Bukan hanya karena hujan ekstrem akibat siklon Senyar, tetapi karena tanah itu sendiri sudah diganggu jauh sebelum bencana datang.

Di Kelurahan Hutanabolon, kerusakan itu tampak jelas seperti luka yang tidak sempat dibalut. Hutan perbukitan telah lama dipangkas untuk sawit.

Kulit bukit yang dulu tebal kini hanya menyisakan garis-garis tipis yang mengarah pada kehancuran.

Di Lingkungan IV Hutanabolon, Asidin Sitompul (62), duduk seperti orang yang sedang mengingat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan ia saksikan.

Kategori :