“Tidak bisa langsung dihapus, tapi harus dikendalikan pelan-pelan,” ujarnya.
Analogi sederhana ini menggambarkan bahwa tubuh ekonomi Indonesia tidak bisa disembuhkan dengan terapi kejut.
Perubahan harus bertahap, disertai kesiapan infrastruktur dan adaptasi pelaku usaha.
Jika tidak, terapi justru bisa menimbulkan “rasa sakit” baru: biaya distribusi naik, barang terlambat sampai, dan harga di pasar melonjak.
Kenaikan biaya logistik akibat gangguan transportasi sering kali menjadi pemicu fluktuasi harga dan inflasi.
Satu hambatan di jalur distribusi bisa berdampak berantai: harga bahan bakar naik, tarif pelabuhan melonjak, hingga ongkos sewa truk meningkat.
Pada akhirnya, biaya tambahan itu tak berhenti di jalan, melainkan mengalir ke rak-rak pasar dan kantong konsumen.
Contohnya sederhana. Ketika ongkos kirim beras dari Jawa Timur ke Kalimantan naik, harga eceran beras di pasar tradisional akan ikut terdorong.
Dalam situasi ekonomi global yang belum pulih sepenuhnya, gejolak semacam ini dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan nasional.
Pemerintah sendiri menegaskan komitmen menuju kebijakan Zero ODOL.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyebut aturan ini akan berlaku efektif pada awal 2027.
“Kita semua sepakat, zero ODOL tidak bisa lagi ditunda-tunda,” tegasnya.
AHY menekankan aspek keselamatan sebagai alasan utama.
Berdasarkan data, sepanjang 2024 terjadi 150.906 kasus kecelakaan lalu lintas, dengan lebih dari 26 ribu korban meninggal dunia, di mana 10,5 persen di antaranya melibatkan truk barang.
Namun, antara angka di meja rapat dan realitas di jalan raya, terdapat jurang yang sering tak dijembatani.
Di situlah pelaku usaha berharap, kebijakan disusun tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga dengan empati terhadap pelaksana di lapangan.