Teguh mengingatkan bahwa jika proses verifikasi identitas tidak dilakukan dengan standar tinggi, maka potensi penyalahgunaan dokumen bisa sangat besar, terutama jika menyangkut dokumen keuangan atau hukum bernilai tinggi.
Sebagai upaya mitigasi, Komdigi secara rutin mengaudit semua penyelenggara sertifikasi elektronik (CE) dan memperbarui standar keamanan secara harian, bukan hanya tahunan.
Teguh menekankan bahwa standar seperti verifikasi wajah harus mampu mendeteksi apakah data diambil dari kamera atau galeri, dan membedakan manusia asli dari rekayasa AI.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya sistem backup yang andal guna menghindari kerugian akibat serangan siber.
Teguh juga mengingatkan bahwa keamanan digital tidak bisa hanya diukur dari nilai perangkat atau sistemnya, tetapi dari aset dan data yang dilindungi.
“Banyak yang berpikir pagar seharga Rp5 miliar sudah cukup untuk rumah Rp10 miliar, padahal mereka lupa bahwa isi rumah dan nyawa penghuninya jauh lebih bernilai,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Komdigi kini gencar mendorong pendekatan holistik yang melibatkan masyarakat, penyelenggara layanan digital, dan seluruh ekosistem untuk memperkuat proteksi dari serangan siber termasuk dari potensi serangan oleh pelaku dalam (insider threat).
“Tidak ada sistem yang benar-benar kebal. Tapi dengan mitigasi yang matang dan backup yang kuat, kerugian bisa ditekan. Ini bukan sekadar urusan teknis, tapi soal keberlangsungan layanan dan keselamatan digital masyarakat,” pungkasnya.
Di sisi lain, penyedia layanan identitas digital, VIDA menegaskan komitmennya mencegah kejahatan siber di tengah meningkatnya pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI).
“Di era AI seperti sekarang, siapa pun bisa menjadi korban. Bukan hanya masyarakat awam, tapi juga lembaga, institusi, bahkan pemimpin negara sekalipun,” ujar Group CEO VIDA, Niki Luhur dalam forum keamanan digital di Jakarta.
Menurut Niki, masyarakat Indonesia kini semakin rentan terhadap berbagai bentuk penipuan digital yang kian canggih seperti panggilan telepon tak dikenal, tautan phishing di aplikasi pesan instan, hingga dokumen palsu yang dibuat dengan kecanggihan teknologi AI.
Bahkan, kata dia, wajah dan suara manusia kini bisa dipalsukan secara sempurna, sehingga membuat deteksi penipuan semakin sulit.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, VIDA telah bekerja sama dengan sejumlah pemangku kepentingan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan berbagai industri melalui inisiatif bersama.
Salah satunya adalah partisipasi dalam program SIGUNA dan Gerakan Bersama Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital dan perlindungan masyarakat dari kejahatan siber.
Tak hanya itu, VIDA juga aktif merilis laporan kajian yang memuat beragam modus penipuan digital yang tengah berkembang, termasuk rekayasa sosial (social engineering), phishing, serta penipuan berbasis deepfake.
Niki menambahkan, VIDA juga tengah menyiapkan peluncuran kajian terbaru pada September mendatang, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan dalam memperkuat pertahanan digital nasional di tengah pesatnya adopsi AI.