Bahkan aplikasi berbasis deepfake kini tersedia secara luas di toko aplikasi, membuat publik semakin rentan.
Tidak hanya itu, Ia juga menyoroti pentingnya simulasi dan latihan penanganan insiden siber.
“Banyak rencana hanya di atas kertas. Ketika insiden terjadi, malah bingung sendiri karena tidak pernah dilatih,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ardi menekankan bahwa ruang digital yang disebutnya sebagai 'mayantara' ibarat hutan belantara yang penuh predator tak dikenal.
Oleh sebab itu, pengguna perlu memiliki helicopter view atau pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem digital yang mereka masuki.
Ia menyebut, semua teknologi punya kerentanan, dari IoT sampai mobil listrik.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya untuk sadar dan terus belajar membangun sistem pertahanan siber berbasis edukasi dan kesiapsiagaan.
Ardi juga mengajak masyarakat dan institusi untuk tidak hanya memanfaatkan teknologi tanpa memahami bagaimana sistem tersebut bekerja.
Ia menilai bahwa banyak kejahatan siber terjadi karena kelengahan pengguna yang tidak menyadari bahwa teknologi yang mereka gunakan membawa risiko tinggi.
“Teknologi berubah dalam hitungan detik. Kejahatan juga ikut bertransformasi. Yang tidak berubah hanyalah niat jahat manusia. Maka kita harus lebih siap dari sekarang,” pungkasnya.
Terpisah, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktorat Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik menekankan pentingnya mitigasi dan sistem cadangan (backup) dalam menghadapi ancaman kejahatan siber.
"Mitigasi dan backup bukan lagi pilihan, tetapi keharusan dalam rangka menghadapi ancaman kejahatan siber yang semakin kompleks dan canggih," kata Direktur Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik Teguh Arifiyadi dalam sebuah forum tentang keamanan digital di Jakarta.
Teguh menyampaikan bahwa hampir setiap orang di Indonesia pernah mengalami atau setidaknya menjadi target upaya penipuan digital, mulai dari SMS palsu hingga serangan rekayasa sosial (social engineering).
Menurut dia, lebih dari 90 persen serangan siber bersumber dari manipulasi sosial, yang mengecoh pengguna melalui teknik penyamaran identitas digital.
"Teknologi deepfake dan rekayasa AI kini bisa mengelabui sistem verifikasi paling dasar. Bahkan video call bisa dilakukan oleh pihak yang menyamar menyerupai pejabat tinggi. Jika tidak diantisipasi, dampaknya bisa sampai ke level negara," ujar Teguh.
Dalam konteks transaksi digital, Komdigi mencatat bahwa pada 2024 terdapat lebih dari 250 juta dokumen digital yang ditandatangani secara elektronik.