Sebagai kelompok mayoritas, suku Lintang sering kali menjadi penentu dalam dinamika sosial di daerah tersebut, baik sebagai pemicu maupun sebagai pencegah konflik.
Masyarakat suku Lintang dikenal dengan kekayaan budaya yang unik.
Mereka menggunakan bahasa Lintang sebagai alat komunikasi utama, yang terdiri atas dua dialek: dialek “o” dan dialek “e”.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Suku Ogan Ilir : Warisan Budaya Besemah yang Hidup di Sepanjang Sungai Ogan !
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Sirah Pulau Padang OKI : Kisah Kekuasaan dan Kejatuhan Pangeran Batun !
Dialek “o” umumnya digunakan di Kecamatan Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang, sementara dialek “e” digunakan di Kecamatan Tebing Tinggi dan beberapa dusun di Kecamatan Ulu Musi.
Berdasarkan penelitian Tim Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 1986, jumlah penutur bahasa Lintang diperkirakan mencapai 181.206 jiwa, dengan mayoritas menggunakan dialek “o” sebanyak 125.785 jiwa.
Keberadaan bahasa Lintang menjadi identitas penting yang membedakan suku ini dari kelompok etnis lainnya.
Mayoritas masyarakat suku Lintang bermata pencaharian sebagai petani.
Mereka mengandalkan hasil bumi seperti kopi, lada, dan padi sebagai sumber penghidupan.
Profesi ini tidak hanya menjadi aspek ekonomi tetapi juga bagian dari tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, masyarakat suku Lintang memiliki semangat dan optimisme yang tinggi.
Hal ini membuat mereka disegani di lingkungan masyarakat umum.
Rasa kekeluargaan yang kuat juga menjadi salah satu ciri khas suku Lintang, yang membuat mereka mampu bertahan dalam berbagai situasi sulit.
Menurut cerita rakyat, nenek moyang suku Lintang berasal dari luar daerah dan pertama kali memasuki wilayah Empat Lawang melalui Sungai Musi.
Nama Lintang sendiri diambil dari Sungai Lintang yang melintang di alur Sungai Musi.