Berbulan-bulan berlalu, Dayang Kumunah berusaha bangkit dari kesedihan, tetapi masih ada satu hal yang mengganjal: Awangku Usop belum pernah melihatnya tertawa.
Kebahagiaan keluarga kembali terasa saat anak bungsu mereka belajar berjalan dan berperilaku lucu.
Tanpa sadar, Awangku Usop melanggar janjinya saat meminta Dayang Kumunah untuk tertawa.
Ketika Dayang Kumunah tertawa, insang ikan muncul dari mulutnya, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju sungai.
Awangku Usop dan anak-anaknya menyusul ke sungai, hanya untuk menemukan Dayang Kumunah sudah menjelma menjadi ikan yang cantik dan bercahaya tanpa sisik.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada Awangku Usop, “Kanda, jaga anak-anak kita dengan baik.”
Pesan ini menggambarkan betapa besar cintanya terhadap keluarga.
Meskipun sudah berubah menjadi ikan, Dayang Kumunah tetap mengutamakan keluarganya di atas segalanya.
Setelah kejadian itu, Awangku Usop dan anak-anaknya merasakan kesedihan yang mendalam.
Mereka berjanji untuk tidak pernah memakan ikan patin, karena dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.
Ini adalah simbol kesetiaan dan cinta yang abadi, bahkan setelah kematian. Bagi masyarakat Melayu Riau, kisah ini bukan sekadar cerita rakyat, tetapi menjadi bagian dari identitas budaya mereka.
Ikan patin kini dikenal sebagai salah satu komoditas perikanan yang penting di Riau.
Masyarakat Riau menggantungkan kehidupan mereka pada ikan patin, baik sebagai sumber pangan maupun sebagai mata pencaharian.
Proses budidaya ikan patin telah menjadi bagian dari kegiatan ekonomi masyarakat, menciptakan peluang kerja bagi banyak orang.
Meskipun ikan patin budidaya tidak dapat dibandingkan dengan ikan patin asli dari sungai, dengan pengolahan yang tepat, ikan patin dapat menjadi hidangan yang lezat.
Rasa yang khas dan gurih menjadikan ikan patin sebagai pilihan utama dalam menu masakan Melayu.