Larangan ini mungkin terkait dengan risiko yang dihadapi jika seseorang mengambil kayu yang tergantung, yang bisa saja membahayakan diri sendiri.
5. Ngambik putung anyot (Mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai)
Larangan ini melarang penebangan pohon di sekitar sungai yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.
6. Mekik-mekik di ayik dan di hutan (Berteriak di sungai atau hutan)
Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga ketenangan di alam, serta mencegah gangguan terhadap hewan yang hidup di hutan dan sungai.
7. Nganyotkan kukak gebung (Menghanyutkan kulit rebung di sungai)
Larangan ini bertujuan untuk menjaga kebersihan sungai, karena kulit rebung yang dihanyutkan bisa membuat air menjadi kotor dan menimbulkan gatal-gatal pada orang yang mandi di sungai.
Pesan-pesan adat yang diwariskan oleh Puyang Kemiri memiliki relevansi yang sangat kuat, tidak hanya bagi masyarakat Empatlawang tetapi juga dalam konteks kehidupan modern.
Ketiga sumpah Puyang Kemiri, misalnya, merupakan dasar-dasar etika dalam kehidupan sosial yang menekankan pentingnya kejujuran, kesetiaan, dan menjauhi iri hati serta dengki.
Sikap-sikap ini adalah nilai universal yang penting untuk menjaga keharmonisan dalam komunitas.
Selain itu, larangan-larangan yang disampaikan oleh Puyang Kemiri menunjukkan bahwa nenek moyang di daerah ini sudah memiliki kesadaran ekologis yang tinggi.
Larangan membuang sampah ke sungai, misalnya, menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, terutama sumber air yang menjadi pusat kehidupan.
Pesan ini sangat relevan dengan tantangan modern seperti pencemaran lingkungan dan deforestasi.
Demikian pula, larangan mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai memiliki makna yang lebih dalam terkait pelestarian hutan.
Pohon yang tumbuh di tepi sungai berperan penting dalam menjaga ekosistem sungai dan mencegah erosi.
Dalam konteks modern, larangan ini dapat dihubungkan dengan upaya untuk mencegah pembalakan liar yang sering kali dilakukan dengan menggunakan sungai sebagai jalur transportasi gelondongan kayu.