Selain itu, Rumah Demokrasi melihat bahwa fenomena kotak kosong perlu diperluas dan diakomodir tidak hanya di daerah dengan pasangan calon tunggal atau 43 daerah.
Mahkamah Konstitusi (MK) didorong untuk melindungi hak-hak pemilih di Pilkada Serentak 2024 yang tidak menginginkan memilih sejumlah pasangan calon yang diusung partai politik dan nantinya masuk dalam surat suara.
MK pun perlu menjamin kesetaraan pemilih seperti tertuang di Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
BACA JUGA:Pilkada Prabumulih 2024 : Kenali Paslon, Pilih Rekam Jejak Positif dan Religius !
BACA JUGA:Pilkada Empat Lawang 2024 : KPU Umumkan HBA-Henny Resmi Ajukan Pendaftaran !
Pertimbangan kedua, karena ada potensi rusak-nya demokrasi di Indonesia dengan dugaan keberadaan kartel politik yang memborong dukungan partai politik sebanyak-banyaknya.
"Publik mencurigai keberadaan koalisi partai politik yang awalnya hanya koalisi dari pasangan calon presiden terpilih melebar menjadi koalisi dengan partai-partai politik lainnya sebagai upaya untuk menjegal kontestasi sehat dalam demokrasi," jelas dia.
Meskipun putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 berhasil menurunkan ambang batas pencalonan dari semula 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara menjadi 6,5 persen, 7,5 persen, 8,5 persen dan 10 persen tetapi toh tetap saja keberadaan pasangan tunggal semakin besar.
Kalau kartel politik ini terus terjadi, maka pilkada ke pilkada berikutnya akan berpotensi meningkatnya calon tunggal di banyak daerah.
Pertimbangan ketiga, karena partai politik dalam mengusung calon kepala daerah cenderung tertutup. Mekanisme tertutup dilakukan dengan mengusung kader, teman, orang-orang yang memiliki kesamaan agama, daerah, suku, dan keluarga di kalangan elite partai. (ant)