Keberhasilan perkebunan karet di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim yang mendukung.
Pohon karet (Hevea brasiliensis) tumbuh optimal pada suhu rata-rata harian sekitar 28 derajat Celsius dan curah hujan tahunan antara 2.500 hingga 4.000 milimeter, dengan sekitar 150 hari hujan per tahun.
Kondisi iklim seperti ini banyak ditemukan di Indonesia bagian barat dan tengah, khususnya di pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Inilah yang menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai pusat utama produksi karet di Indonesia.
Sejarah Perkebunan Karet di Indonesia
Karet pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial Hindia Belanda oleh Hofland pada tahun 1864.
Pada awalnya, karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi sebelum akhirnya dikembangkan menjadi tanaman perkebunan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Jenis karet yang pertama kali diuji cobakan adalah Ficus elastica atau karet rembung.
Perkebunan karet jenis ini merupakan yang tertua di dunia dan berada di Jawa Barat.
Namun, karet Ficus elastica ternyata tidak ideal karena produksinya yang rendah dan rentan terhadap serangan hama.
Melihat kelemahan dari jenis Ficus elastica, perkebunan karet kemudian beralih ke jenis Hevea brasiliensis yang mulai ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906.
Jenis karet ini memiliki produksi getah yang lebih tinggi dan lebih tahan terhadap hama, sehingga menjadi pilihan utama dalam pengembangan industri karet di Indonesia.
Sejarah produksi karet di Indonesia mencapai puncaknya pada periode sebelum Perang Dunia II hingga tahun 1956.
Pada masa ini, Indonesia menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia.
Karet alam dari Indonesia menjadi komoditas yang sangat penting dalam perdagangan internasional, memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Namun, setelah tahun 1957, posisi Indonesia sebagai produsen karet terbesar di dunia digeser oleh Malaysia.